Irida

Sylicate Grazie
Chapter #2

Zuerst

Lilin itu dinyalakan di atas kue vanila bertaburkan serpihan cokelat, kesukaan Owena. Diletakkan di tengah ruangan agar semua orang dapat melihatnya. Ruangan besar itu dipenuhi anak-anak perempuan. Gaun-gaun kecil yang mereka kenakan terlihat seperti bunga tulip yang terbalik. Tidak ada musik bertemakan ulang tahun, hanya alunan biola sederhana yang mengiringi acara.

Sosok perempuan mungil meremas celana seorang pemuda yang berdiri tepat di sebelah pintu masuk. Kulit anak itu putih susu. Mata hitamnya berkaca-kaca. Pemuda di sebelahnya sedari tadi mengusap-usap pelan rambut hitam sang perempuan.

Ia menarik-narik celana sang pemuda. "Kenapa ada banyak orang?" bisik perempuan itu.

"Memang beginilah pesta ulang tahun kakakmu." Pemuda itu tersenyum simpul.

"Kapan akan selesai?"

Sang pemuda tertawa kecil. "Pestanya bahkan belum dimulai, Irida. Bersabarlah, nanti kau akan mencicip kue itu."

"Aku tidak mau kuenya lagi...," ucap sang perempuan lirih. "Aku ingin kembali ke kamar."

"Tenanglah, acaranya hanya... sebentar." Pemuda itu tersenyum tipis.

Anak itu menggoyang-goyangkan tubuhnya. Rasa bosan menutupi hatinya. Apa yang harus ia lakukan? Ia tidak mengenal satu pun teman kakaknya. Malah, ini pertama kalinya ia melihat banyak orang. Di rumahnya pula.

Lama anak itu menunggu. Ia sandarkan kepalanya ke kaki sang pemuda. Perlahan, suara dengkuran kecil keluar dari mulut mungilnya.

{{Berbahagialah, kau yang selamat}}

Kenapa aku ada di sini?

Anak perempuan itu lumpuh. Ia berusaha membuka mulut, tetapi mulut itu tetap terkunci rapat. Ia sipitkan matanya. Perih. Cahaya di atasnya terasa lebih terang dari matahari. Ia tahu itu bukan matahari, karena matahari selalu menghangatkannya.

Badannya terasa dingin sedingin es. Perih.

Lehernya ia coba gerakkan sedikit, tetapi ia tidak bisa menoleh. Seluruh bagian dari tubuhnya seakan-akan membatu. Ia berusaha untuk mengedipkan mata. Matanya kering. Perih. Darah perlahan keluar, membasahi kedua bola mata anak itu.

Aku mau pulang.

Dengan segenap tenaga ia naikkan kepalanya. Namun tidak ada hasilnya, seperti dulu. Tubuhnya masih sangat lemas, seakan-akan ia hanyalah boneka besi yang berat dan berkarat. Kepalanya hanya terangkat sedikit, kemudian terjatuh kembali ke meja besi. Dingin. Apa yang ia hantam sangat dingin.

Aku mau pulang....

{{Berbahagialah}}

Anak itu membuka matanya kembali. Ia meremas selimut lembut yang menutupi sebagian tubuhnya. Perlahan ia lepaskan genggamannya. Ia menepuk-nepuk pelan kedua pipinya lalu mengembuskan napas pelan. Wajah tegangnya memudar. Ia fokuskan pandangan ke lampu tidur berbentuk bulan sabit yang bertengger di dinding seberang. Degup jantungnya yang memburu pun mulai berdetak seperti biasa.

Sejak kapan ia tertidur? Anak itu menggaruk-garuk mata. Ada beberapa tetes air keluar dari keduanya. Anak perempuan itu benar-benar tidak paham dengan apa yang baru saja terjadi.

"Mimpi buruk lagi, ya," ujarnya pelan. "Irida kok jadi mimpi buruk lagi...."

Ia menuruni kasur. Disibaknya piyama polkadot merah muda yang kini agak kusut. Piyama yang sama persis dengan piyama kakaknya, Owena. Anak itu tersenyum sendiri mengingatnya. Ah, Irida benar-benar sayang kakaknya itu.

Ia pun keluar dari kamar. Langkahnya kecil, tetapi gesit. Ia menundukkan kepalanya. Matanya belum kuat menatap langsung pancaran cahaya lampu lorong. Ia garuk-garuk lagi matanya, berharap dapat melihat dengan jelas karenanya. Namun yang ada matanya terasa makin gatal.

Tenggorokannya terasa kering. Mungkin karena itu langkah-langkah kecilnya berlari menuju dapur raksasa rumah. Ia berjalan menyusuri lorong sendirian. Ke mana orang-orang pesta tadi, ia tidak peduli.

Lantai kayu yang ia pijak terasa dingin, dan agak licin. Ini satu lorong yang panjang. Di samping kirinya berjejer jendela-jendela tinggi menampilkan langit malam. Bintang-bintang ditaburkan di atas kanvas hitam langit. Gunung-gunung terlihat seperti ombak samudra yang bergulung-gulung.

Malam itu malam yang indah. Hanya butuh beberapa petikan gitar pelan, malam itu akan menjadi malam yang sempurna.

Perempuan mungil kita kini terhenti di depan pintu berdaun dua yang sedikit terbuka. Ada apa di dalamnya?

Dapur itu bersih, rapi, dan mengilap. Hampir setengah dari dinding dapur ditutupi oven dan kompor besi. Hanya satu hal yang mengganjal: pemuda berjas laboratorium yang tengah merenung bersama secangkir kopi hangatnya.

Pemuda itu orang yang menemaninya tadi. Pemuda berambut biru dongker setelinga yang urak-urakan, dan mata hijau neonnya yang terlihat agak redup kali ini. Kantung matanya tidak pernah tidak terlihat. Cangkir beling di genggamannya mengepulkan uap tepat di depan wajahnya, meninggalkan embun di lensa kacamatanya. Tatapannya kosong. Badannya yang agak kurus bersandar ke sebuah meja di tengah-tengah ruangan.

Perempuan itu membuka pintu perlahan. Dihampirinya pemuda itu. "Kak Sev minum kopi lagi, ya?" tanyanya, gemas melihat tingkah laku sang pemuda yang sudah dilakukannya ribuan kali.

Pemuda itu mengangkat kepalanya yang sedari tadi menunduk. Kacamatanya tertutup embun. Namun dilihat dari sesimpul senyum di wajah tirusnya, ia menyadari perempuan kecil kesayangannya.

"Kau sudah bangun rupanya, ya?" tanyanya. Suaranya terdengar berwibawa walau sedikit serak. Suara khas pemuda awal 20-an yang hobi meminum cairan panas.

Anak itu mengangguk. Ia tarik jas putih yang selalu dikenakan pemuda itu, kecuali dalam acara-acara penting tentunya.

"Aku mau minum," bisik anak itu.

Pemuda itu menjawab bisikannya dengan bisikan. "Dan kue?"

Anak itu terkikik. "Itu juga boleh!"

Sev, pemuda yang tadinya terlihat letih tetapi segar kembali itu, meletakkan cangkirnya ke meja persegi di tengah-tengah ruangan. Ia mengambil sebuah kue yang diambilnya dari kulkas raksasa dapur dan memotongnya di meja. Sementara itu Irida bersusah payah duduk di atas kursi berkaki tinggi.

Lihat selengkapnya