Naik, turun, naik, turun, memekakkan telinga... apakah itu?
Tangan Owena yang terus-menerus memukul meja makan karena belum lagi mendapatkan hadiahnya.
Dua pasang manik hitam arang dan sepasang manik biru cerah memperhatikannya.
Di sana, di sebuah meja panjang terbuat dari pualam, keempat orang itu berkumpul. Seharusnya untuk sarapan, tetapi... kelihatannya wajah mereka terlalu muram untuk makan pagi.
Sang kepala keluarga menurunkan garpu dan pisaunya, batal memotong steak yang tersedia indah di hadapannya. Ia perhatikan terus anak gadisnya yang merengut. "Owena...."
Mendengar ayahnya merespons perilakunya, gadis mungil itu berteriak. Melengking, keras, memekakkan telinga. Sampai-sampai Irida yang duduk di sampingnya menutup telinga.
"Aku marah!" pekiknya. "Mana hadiahku? Mana, mana?!"
Irida menggigit bibir, ingin mengabaikan rasa takutnya pada kakaknya itu. Ia hanya melirik gadis berambut cokelat itu dari ekor matanya. "... Kenapa?" tanyanya, lirih dan rapuh.
Owena bergeming. Wajahnya mengeras, membuat adiknya makin takut. Terdengar sang ayah menghembuskan napas berat.
"Kenapa? Hadiahmu?" tanya pria beruban itu, menunjukkan seulas senyum tipis kepada anaknya. Dahinya berkerut, entah pikiran apa yang ia selipkan di antaranya. Yang pasti... ayah dari kedua gadis kecil itu lelah.
"Iya!" jawab Owena. Tanpa berpikir panjang, anak itu melempar piring beling berisi makaroni bersausnya. Syukurnya, piring itu tidak pecah di atas karpet beludru merah yang mereka miliki. Namun saus menyembur ke mana-mana, membuat Irida meringis.
Irida makin mengerut di atas kursinya.
"Sayang, bersabarlah. Nanti mama belikan pita baru, mau?" Sang ibu, yang tak pernah tak mengenakan rias wajah itu, membelai lembut rambut Owena. Namun gadis itu menepis lengan ibunya, dan wajahnya semakin masam.
"Aku mau boneka," ujarnya ketus.
"Ah, kalau begitu... sepulang sekolah nanti kita pergi ke mall?" Sang ayah tersenyum cemerlang. Akhirnya ia mendapati kunci untuk membuka hati putrinya. Sekarang ia hanya perlu memutarnya... perlahan dan hati-hati.
Owena terdiam sebentar, lalu mengangguk kecil tanpa menatap kedua mata ayahnya.
"Irida," panggil sang ibu, nyaris membuat Irida terjungkal dari kursi karenanya. Gadis mungil itu mendongak, menatap ibunya. "Panggilkan seseorang di dapur. Bilang makanan Owena tumpah, dan minta mereka bawakan seporsi sereal favoritnya saja."
"Iya...." Irida mengangguk, segera menuruni kursi logamnya dan buru-buru berjalan ke luar ruang makan.
Setelah menutup pintu, gadis itu membuang napas lega. Ia mendongak, menyipitkan mata ketika cahaya mentari menembus kaca jendela, jatuh tepat pada lensanya.
Ia menoleh ke kanan dan kiri. Lorong dingin itu kosong. Gadis mungil itu bergeming. Tubuhnya terlalu enggan berjalan jauh, tetapi... perintah adalah perintah. Irida tidak pernah diajarkan untuk menolak perintah.
Kita semua begitu, bukan?
Gadis itu berjalan menyusuri lorong, sesekali menepuk lembut rok hitamnya yang terlipat. Sesungguhnya ia ingin sekali berlari ke dapur, tetapi ayahnya tidak memperbolehkan dirinya berlari-lari di dalam rumah. Tidak, ia tidak pernah berlari... kecuali larut malam, ketika pria tua itu terlelap dalam mimpi abstraknya.
"Jangan lari, berisik! Mengganggu konsentrasi ayah saja," komentar ayahnya saat itu, ketika Irida lari karena menemukan tikus di dapur. Mengingat itu, Irida makin enggan berjalan ke dapur.
Lengannya yang lembut mengetuk pintu dapur. Suatu hal yang agak aneh, sejujurnya. Berkali-kali gadis itu melihat kakaknya keluar-masuk dapur tanpa aba-aba. Jika ayahnya melihat Irida berlaku seperti ini, bisa saja Sev dipecat.
Seorang wanita membukakan pintu. Sedikit kaget ketika melihat gadis setinggi pinggangnya yang ternyata mengetuk pintu. Ia segera berjongkok, menyamakan tinggi wajahnya dengan Irida. "Apa yang bisa kubantu, Sayang?"
Irida membalikkan tubuhnya, menunjuk ke arah asalnya dengan telunjuk. "Makanan Owena tumpah," jawabnya, tak peduli bahwa suara cemprengnya terdengar sangat keras hingga salah satu koki mengintip keluar. Ia melanjutkan ucapannya, "Dan mama bilang minta tolong bawakan sereal favorit kakak ke meja makan."
"Ah, aku yakin Owena mengamuk lagi." Wanita dengan kerutan di samping kedua matanya itu tersenyum lebar, lalu berdiri. "Bilang aku akan membawakannya beberapa menit lagi, baik?"
Irida memberikan tanda "ok" dengan tangan kanannya, lalu berjalan pergi. Selama beberapa menit wanita itu terus memperhatikan langkah kecilnya. Setelah Irida sudah hilang dari pandangan, baru ia masuk ke dalam dapur.
Apakah Irida akan kembali ke ruang makan? Gadis kecil itu bergumam, berandai-andai dirinya berada di luar rumah, bermain entah apa di bawah sinar mentari.... Dan lamunannya terhenti ketika seorang gadis muda sekilas melintas di hadapannya.
Perlu kau ketahui, wajah datar Irida berubah menjadi kecut seketika. Langkahnya terhenti. Gadis yang lewat tadi memiliki rambut cokelat bergelombang sesiku--sama persis seperti milik ibunya, tetapi matanya... mata biru ayahnya.
Siapa itu? Jantung gadis kecil itu berdetak cepat. Rasa dingin menggelitik leher, menjalar hingga jemarinya. Tanpa berpikir lagi, Irida berlari ke ruang makan.
{{Rasa yang familiar}}
"Astaga...." Sev memijit pelipisnya, lalu melipat lengan jas laboratoriumnya hingga siku. Ia letih... bukan, ia takut. Takut apa yang ia lakukan berakhir menjadi kesalahan lagi. Mungkin malam ini ia akan berdoa pada Tuhan agar dosanya diberikan saja pada orang yang memerintahnya melakukan hal ini.
Mendadak sesuatu membebani kaki kanannya. Spontan ia mundur selangkah dari meja kerja ruangannya, kemudian menunduk. Ada bola rambut hitam pendek memeluk kakinya. Ia meringis. "Irida...."
Bola rambut itu mendongak, memperlihatkan wajah pucat dan hidung mancung kecilnya. "Um...."