"Aku mau main catur...."
Owena memeluk kedua lututnya, menatap potongan-potongan puzzle di hadapannya. Entah berapa puluh lagi, atau berapa ratusan potong lagi yang harus ia susun. Mata berona lazuardinya masih memerhatikan tiap bagian, memastikan beberapa warna yang serupa sudah ia masukkan ke kelompok-kelompok warna yang sama. Entah obsesi macam apa yang Tuan Marshy miliki, memberikan anaknya ratusan puzzle tak bergambar. Hanya gradasi warna dari hitam hingga putih dari atas sampai bawah.
"Kak Owena sudah selesai?" tanya Irida, tubuh mungilnya masih terbentang di atas karpet, terpaku atas perintah kakaknya. "Aku sudah boleh duduk belum?"
"Tunggu," balasnya datar, entah menahan kesal atau terlalu fokus. "Aku masih perlu...."
Terdengar daun pintu terbuka dari balik punggung Owena, memaksanya menoleh. Terlihat Lavia tengah membawakan nampan perak dengan tiga cangkir teh–oh, aroma melati–dan ia letakkan nampan keperakan itu di meja kecil tempat Owena biasa menyendiri, di ujung ruangan.
Owena membuang muka. Ia kembali menatap kepingan puzzlenya di karpet. Pikirannya tidak bisa diganggu lebih lama lagi, kepalanya akan meledak. Bahkan beberapa titik keringat dapat terlihat di dahinya walau ruangan itu terasa sejuk di kulit.
Lavia menatap kedua anak itu dari sudut ruangan beraksen merah-keemasan itu. "Ayah bilang kau boleh istirahat, Owena," ujarnya lirih. "Apa otakmu tidak kelelahan, hm?"
"Sebentar lagi." Owena menggaruk matanya. "Ayah mau aku selesai sebelum makan malam."
Irida menatapnya sendu. "Kak Owena, teh," pintanya, memelas. Ia pun duduk, mengibaskan debu yang menempel di rambut hitamnya. Kelakuannya disambut dengan tatapan sebal Owena.
"Irida!" tegasnya, badannya terhempas oleh teriakannya sendiri. "Aku masih memerlukan tinggi badanmu agar aku dapat membayangkan besar susunan puzzle ini–"
Duk!
"Ah, Kakak!"
Derap kaki Lavia bergemuruh. Ia berlari hampiri Owena yang mendadak terjatuh–kepala terlebih dahulu ke belakang, mengerikan! Jemarinya memilah-milah rambut anak itu, mencari apakah ada bagian yang menonjol akibat benturan tadi. Irida memeluk lutut Lavia, jari-jarinya menguning saking kerasnya ia memeluk. Apakah Owena akan baik-baik saja?
"Astaga, dia benar-benar harus istirahat," bisik Lavia.
"T-tapi Kak Owena mau puzzlenya cepat selesai," kilah Irida, "sudah dari kemarin ayah meminta Kak Owena untuk menyelesaikannya!"
Gadis bersurai kecokelatan itu berusaha memutar otak. Namun napasnya tercekat kala tubuh kecil Owena bergetar, menggerakkan tubuhnya. "S-sakit," rintihnya, "ibu...."
Lavia memicingkan mata, berusaha menutup percikan amarah yang terpancar dari sana. Ia mengelus rambut Owena, mendesah kesal seraya menatap anak itu sayu.
"... Temani aku mengantarnya ke kamar, Irida."
"B-baik!"
{{ Masa yang terpendam }}
"Di mana rapotmu?"
Seorang gadis pirang membeku di balik lorong gelap rumahnya. Ia dengar pertanyaan itu meluncur begitu saja bagaikan peluru, menggores lengannya... menembus jantung adiknya di dalam kamar itu.
Ia menempelkan daun telinganya ke dinding, berupaya menangkap kelanjutan percakapan tadi. Namun tidak ada lagi yang dapat ia dengar selain suara jangkrik malam itu. Seraya mendecak kesal, langkahnya kembali menapak lantai kayu lorong, melanjutkan kepulangannya. Baru ia menyentuh kenop pintu kamar seberang ruang terkutuk tadi, derit kayu menyentak tubuhnya. Tanpa menoleh, ia sudah tahu wanita tua di belakangnya tengah menatap nanar punggungnya. Tatapan yang ia berikan pada serangga-serangga musim panas berbau tengik di siang bolong; jijik, kesal, memuakkan. Namun tidak seperti yang ia perkirakan, bukan omelan yang ia terima. Hanya bisikan, "Kalian semua tidak berguna," dan langkah pelan yang menjauh darinya.
Gadis itu mengatup mulutnya. Jika tidak, teriakan caci-makinya akan terdengar hingga tetangga sebelah akan terbangun olehnya. Wanita yang melahirkannya itu memang selalu membuatnya naik pitam. Kini ia tidak lagi peduli dengan tulangnya yang terasa remuk karena jatuh saat memanjat pagar rumah, ia harus mengecek anak kesayangan wanita itu.
Lengannya terangkat, hendak mengetuk pintu. Namun seketika raut wajahnya mengeras, entah pikiran apa yang menghasut kepalanya, ia langsung membuka pintu.
Di dalam, seorang gadis kecil berlutut dengan bahu bersandar pada kasur. Lengan kirinya terjuntai ke lantai sementara tangan satunya menggenggam pisau dengan darah di ujungnya.
"Hentikan," pintanya lirih. Namun perempuan mungil berkacamata bundar itu tetap mematung, menatap cairan merah dari lengannya mengucur pelan tertarik gravitasi. Kini pisau itu ia genggam lebih erat.
"Jangan... ganggu...."
"Adik tolol, sialan!"
Plak!
Napas keduanya tertahan. Senyap, hanya terjatuhnya tetesan bulir-bulir transparan yang menandakan bahwa waktu tetap berjalan.
"Kau tahu," bisik gadis pirang itu, "bahwa darah yang keluar itu... membawa keluar jiwamu pula?"
Anak di hadapannya membeku. Mulutnya tertekuk kaku sementara kedua pergelangan tangannya digenggam.