"Irida, coba julurkan lidahmu."
Irida menurut. Ia menjulurkan lidah, memperlihatkannya pada Sev yang berlutut di hadapannya. Pemuda itu mengernyitkan dahi. Seperti yang sudah dikatakan Lavia, lidah itu seakan-akan tidak pernah mengecap kehidupan. Tidak ada rona merah sedikit pun, hanya daging membiru yang sudah luntur sari-sari warnanya.
"Kau bisa menggerakkannya?" tanyanya lirih, pandangannya masih terkunci.
"A-ah?" Mata Irida membulat, bingung.
"Coba gerak-gerakkan lidahmu."
Lidah itu patuh. Ujungnya menyentuh tiap bagian dalam gigi, lalu mengusap langit-langit mulutnya. Gerakannya... wajar. Sev mendesah. Ia harus memikirkan ini semua. Sebelumnya tidak pernah ia–
"Aku tidak apa-apa, kok." Suara kecilnya terselip keluar dari bibir gadis mungil itu. "Mungkin warnanya aneh, seperti yang Kak Owena dan Kak Lavia bilang... tapi aku masih bisa makan apapun!"
Pemuda itu termenung. Sel-sel otaknya masih menyambar satu sama lain, menyampaikan informasi-informasi yang relevan, mencari celah mana yang terputus, mencari fakta penting yang mungkin sudah terlupakan. Ia berkedip beberapa kali, menatap dagu kecil anak itu, menatapnya bingung.
Ia... ia salah di mana?
"Walau begitu...." Pemuda itu berusaha untuk menyusun kata-katanya. "Aku khawatir kalau ini bisa mempengaruhimu ke depannya. Paham maksudku?"
Seulas senyum timbul, menampilkan lesung kecil di sisi kiri pipi Irida. "Seperti, semakin banyak aku makan kue, semakin manis rasanya?"
Sev spontan mencubit pipinya, dibalas dengan teriakan kecil. Pemuda itu pun beranjak. "Apa jadwalmu setelah ini? Bermain dengan Lavia?" Ia memasukkan kedua tangannya ke saku jas laboratoriumnya.
"Ah, aku baru ingat!" Irida turun dari bangku kecil yang sebelumnya tersimpan di samping meja laboratorium. Ia menepuk-nepuk terusan putihnya beberapa kali, lalu mendongak ke arah Sev. "Kapan Kak Lavia ulang tahun? Aku ingin merayakannya!"
"Wah, kau belum menanyakannya?" Pemuda itu menyentuh dagunya, seakan-akan berusaha mengingat. "Bukankah gadis pemberani sepertimu seharusnya sudah menanyakannya? Aku terkejut," senyumnya, miring, membuat bagian dalam perut Irida meronta kesal.
Irida mengerucutkan bibirnya, menatap Sev yang kini tertawa kecil dengan gemas. "Aku minta gendong," sahutnya. "Kak Sev menyebalkan."
"Aku masih harus mengerjakan beberapa hal di sini." Pemuda itu menunjuk mikroskop yang bertengger di salah satu nakas ruangan. "Aku sibuk."
"Aaaaah!" Irida menghambur ke kaki Sev, memukulnya dengan tinju-tinju lemah. "Kak Sev jahat!"
Kini Sev tidak kuasa menahan tawanya. Rasa geli dari tiap kata anak itu selalu membuatnya ingin selalu memeluknya. Digendongnya anak itu, lalu dikecupnya kepala Irida. "Biasanya kau lebih sabar dari ini," candanya, mata kehijauannya kini tampak agak sayu di balik lensa kacamatanya. "Ada apa?"
"Ini semua karena Kak Sev jahat," sentaknya. Ia memeluk leher pemuda itu, menyembunyikan wajahnya. "Aku mau Kak Lavia!"
"Tok, tok, tok, aku masuk!"
Irida menegakkan kepala. "Kak Lavia! Kak Sev jahat! Tolong aku!" Ia menggoyang-goyangkan tubuhnya, menyebabkan Sev mengembuskan napasnya berat.
"Irida, sejak kapan kau bisa berbohong begini?" tanyanya lemas, "Iridaku sudah dewasa...."
"Bukan dewasa," ucap Lavia, menghampiri kedua orang itu, "tetapi ia belajar banyak dariku!" tawanya. Gaun pendeknya mengembang seraya ia berjalan.
Sev langsung mundur beberapa langkah. "Jangan cemari Iridaku seperti itu," ucapnya, berusaha terdengar dingin.
"Ya, ya, terserah." Lavia memutar bola matanya. "Hei, Irida, perasaanku sedang tidak enak. Mau peluk aku sehingga aku merasa baikan?"
Irida bergeming. Selama beberapa saat ia hanya menatap wajah kakaknya itu, bibir tertekuk ke bawah, dahi yang berkerut, mata yang basah.
"Kak Sev," ucap gadis kecil itu tiba-tiba, "tolong turunkan aku... kumohon."
"... Karena kamu mengucapkan kata ajaibnya, aku akan menurunkanmu." Pemuda itu membenarkan letak kacamatanya, lalu menyerahkan Irida ke Lavia. Gadis itu memeluknya erat-erat. Entah apa yang ada di pikirannya. Sev menatapnya lekat-lekat.
Apakah terjadi sesuatu lagi?
Selama empat bulan Lavia di sini, ia mendengar beberapa desas-desus para pelayan, tentang gadis baru yang kini bermarga Marshy. Tentang matanya yang terlihat persis Tuan Marshy, dan rambutnya yang seperti replika Nyonya Marshy. Tentang perilakunya yang jauh dari kebiasaan keluarga Marshy.
Namun tiap kali mereka bertemu gadis itu, mereka tidak mengubah cara memandangnya. Mereka membantunya, memberikan senyuman yang hanya mereka sendiri mengerti.
Lavia harusnya tidak mengapa di sini, itu yang Sev pikirkan belakangan ini.
Lagi pula, tidak ada yang mencurigakan sama sekali darinya, bukan?
"Lavia, kau tak apa?" tanyanya.