Suara ketukan lembut mengampiri telinga Lavia, menyebabkan gadis itu kian mengerut di balik selimutnya. Tumpahan emosi tadi tertahan, belum semuanya tercurahkan. Sisanya menggelenyar dalam dada, melawan tubuhnya yang berusaha menahannya sebaik mungkin walau air matanya mengalir jua.
Namun ketukan itu kembali mengganggunya, memaksanya beranjak dan menatap cermin, memaksanya mengusap air mata itu dan menampar pipinya sendiri seraya berbisik, “Hanya masalah kecil, tidak usah dirisaukan, bodoh.”
Ia menahan air mata itu menetes lagi. Karena mau berapa kali seseorang menjatuhkanmu, mereka tidak akan bertanggung jawab atas keterpurukanmu. Mau berapa kali mereka mengingatkanmu bahwa mereka peduli, jauh di dalam hatinya kita tidak akan pernah tahu apa yang mereka rasakan–apa yang mereka pikirkan tentang dirimu itu.
Dengan langkah gontai gadis itu mencapai pintu. Satu tarikan napas panjang, lalu ia membukanya sedikit. Sebelah matanya mengintip keluar, dibalas dengan sepasang mata sehitam arang yang membuatnya bergidik.
“Siapa?” Lavia masih menahan pintunya.
“Keluarlah. Kau tahu aku.”
Gadis itu membanting pintu. Suara itu mengejutkannya. Bulu kuduknya berdiri. Kakinya mendadak tak lagi berdaya sehingga kedua telapak tangannya sudah menyentuh karpet. Apa mungkin karena ia pernah mendengar suara itu?
“Aku akan menjelaskan semuanya,” ujar pria itu lagi. “Jangan takut. Ini aku.”
Lavia mengernyitkan dahi. “Aku tidak mengenalimu!” bentak gadis itu. “Pergi!”
Hening sejenak, tetapi pria itu kembali mengetuk pintu.
Dengan kasar gadis itu menarik gagang pintu, berteriak, “Jangan ganggu aku!”
“Kau yakin?” Seulas seringai terukir pada wajah pria itu, membuat jantung gadis itu berhenti berdetak.
“Kau tidak mau tahu bagaimana kabar Elysa sekarang?” tanya sosok itu.
Lavia mengerjakan matanya beberapa kali. “… Elysa?”
---
Lavia mengerling, memerhatikan pria itu dengan skeptis. Rambutnya mengilap di bawah lampu-lampu koridor, dan matanya menatap lurus; tajam. Wajahnya terlihat terlalu tenang seakan-akan ia tidak bernapas. Ditambah dengan setelan jas hitam yang ia kenakan, ia terlihat seperti robot berwujud manusia di dunia distopia.
Rasanya ia pernah bertemu dengan orang itu sebelumnya, tetapi otaknya menolak pernyataan tersebut. Fakta bahwa lelaki itu hendak mengajaknya keluar dari kediaman Marshy juga ganjil, padahal menyentuh pagar saja merupakan larangan keras dari Tuan dan Nyonya Marshy.
“Sebenarnya Tuan Marshy yang memintaku datang,” tutur pria itu, mengganggu lamunan Lavia. “Aku tahu dia pasti akan memanggilku, cepat atau lambat.”
Lavia mendengus. “Ia menyuruhmu mengajakku ke mana, Tuan…?”
“Perintahnya tidak spesifik,” terangnya, “jadi nanti kau akan lihat sendiri.”