Irida menatap meja belajar Owena. Ia meringis melihat potongan-potongan gabus dengan replika pisau, gunting, benang dan jarum yang tertancap. Entah mengapa tiap kali ia melihat peralatan seperti itu, tulang-belulangnya merasa ngilu. Rasanya ingin ia menciut di atas ranjang kakaknya.
"Sudah siap?" Owena menggenggam replika skalpel di tangan kanannya, berdiri tepat di sisi Irida. "Tetap berbaring di atas kasurku, tenang, sebentar saja ...."
Kedua tangan Irida meremas seprai kasur. Matanya tertuju pada mata pisau itu, walau agak sulit karena sumber cahaya dari jendela terhalang oleh Owena. Perlahan tetapi pasti, kala mata gadis mungil itu mulai mengering, ujung pisau itu sudah berada di atas 1-2 senti di atas bola matanya.
"Tidak!" pekik Irida, menutup matanya lalu menggulingkan tubuhnya ke sisi lain ranjang. "Aku tidak mau! Sudah, sudah!"
"Ah, ini alasannya aku tidak suka bermain denganmu!" balas Owena. Ia melempar skalpel tadi ke mejanya, menyebabkan alat-alat itu berdenting dan serpihan-serpihan gabus tadi melayang. "Apa kamu tidak dengar apa yang ayah katakan tadi pagi? Aku ingin berlatih hingga bisa menjadi seperti ayah!"
Irida menyembunyikan dirinya di balik selimut. "Tidak!" teriaknya lagi. "Nanti Kakak hanya akan mengurung diri di kamar kerja seperti ayah, atau seperti Kak Sev di laboratoriumnya," elunya. "Jangan ...."
Gadis kecil itu dapat mendengar kakaknya membanting pintu, kesal sehingga meninggalkannya. Kini ia memeluk lututnya di balik selimut, merenung.
Sudah seminggu lamanya ia tidak melihat Lavia. Sejak kakaknya itu dipaksa keluar dari ruang makan, ia belum melihatnya lagi. Padahal tiap pagi ia menghampiri kamar kakaknya itu. Namun kosong, hanya beberapa ruang tak bertuan dengan furnitur berdebu.
Ia mengernyitkan dahi. Apa itu berarti kedua orangtuanya telah membuang Kak Lavia? Apa mungkin jika Owena membencinya, ia juga akan dibuang?
Tangannya menutup kedua matanya, mencegah air matanya keluar. Ia takut, amat sangat takut. Ke mana perginya orang-orang yang dibuang? Apakah Kak Lavia baik-baik saja?
Namun tiba-tiba cahaya membutakan pandangan Irida. Selimut yang menjadi pelindungnya tersingkap. "Jangan!" pekiknya. Kedua tangannya meronta-ronta ke depan, berusaha menjauh dari apapun yang "Jangan buang Irida, Irida mohon! Irida takut, jangan!"
"Hei, hei, ada apa denganmu." Suara baritone itu tercampur dengan lengkingan-lengkingan kecil Irida. "Ada apa denganmu?"
"A-ah," Irida terhenti, "Kak Sev!" Pelukannya menghambur pada pemuda itu, dibalas dengan erangan kaget Sev. "Irida takut," isak anak itu, sesekali mengelap air matanya ke jas laboratorium Sev.
"Ya ampun, siapa yang mau membuangmu?" Sev membelai-belai rambut Irida. "Siapapun yang akan membuangmu, aku akan bilang padanya Irida terlalu berharga untuk dibuang. Lebih baik diberikan untukku saja," kekehnya.
Irida mendongak, kedua mata hitam arangnya berkaca-kaca. "Kak Lavia juga berharga."
Pemuda itu terhenyak. Mulutnya terkatup rapat, khawatir apa yang diucapkannya akan menyerang dirinya balik. Ia memposisikan dirinya di sisi Irida, terduduk dengan tangan masih mengelus-elus pelan kepala malaikat kecilnya itu.
"Ya, kau benar," balas Sev lirih, "tiap manusia itu berharga, Irida. Jadi, membuang seseorang tidak pernah menjadi pilihan untuk siapapun." Ia tersenyum pahit.
Dalam hati, ia mengutuk dirinya sendiri.
Namun perempuan kecil itu mengangguk, menyetujui perkataannya. Lagi, dipeluknya Sev, walau kedua tangannya terlalu kecil untuk memeluknya. Bukan karena Sev besar, walau Irida terkadang menganggapnya beruang besar di balik jas putih itu.
"Aku sayang Kak Sev," bisiknya.
Perlahan—tangan Sev bergetar—ia balas memeluk gadis kecil itu, menenggelamkan tubuh kecilnya dalam pelukannya.
Tidak akan ada yang dapat membuang Irida, bahkan jika tuannya yang meminta.
{{ Sorot mata di balik pintu }}
"Tidak apa, kau pasti bisa! Perlahan ...."
Irida mengerjapkan matanya beberapa kali. Ia terbangun, lagi, di ruangan serba putih yang sudah terasa familiar olehnya. Ia menelengkan kepala, menatap seorang perempuan pirang dengan jas dan papan dada beberapa langkah dari tempat ia dibaringkan. Di hadapan perempuan itu seorang lelaki kecil, mungkin seumuran Irida, menunduk, menatap lututnya.
Dara itu mengambil sebuah bangku yang awalnya terletak di bawah meja kerjanya. Lelaki di hadapannya tetap terdiam, masih menatap lututnya. Irida memposisikan dirinya untuk duduk, membuat dara tadi menoleh ke arahnya, tersenyum. Irida tidak terlalu memperdulikannya. Ia duduk di sisi tempat tidur—koreksi, meja besi tempat ia diistirahatkan.
Setelah beberapa saat melihat interaksi antara dua orang itu, ia mencoba melakukan apa yang diminta oleh perempuan itu. Ia mengangkat kedua kakinya, lalu mengayun-ayunkannya di bawah. Ketika ia menoleh, lelaki itu tengah menatapnya, terperangah.
Perempuan itu tertawa. "Lihat, ia bisa melakukannya," ujarnya. "Bagaimana?"
Lelaki itu menggelengkan kepalanya, gusar. "K-kak ...."
"Kau tak apa?" Dara itu meletakkan semua benda di tangannya, berfokus pada sang lelaki. Cairan merah mengalir dari hidung lelaki itu, memaksa perempuan tadi menutup tempat itu dengan tirai putih.