Irida

Sylicate Grazie
Chapter #8

Viderre: Starren

Lelaki itu menatap meja kerjanya dengan kedua tangan bertumpu di atasnya. Irida hanya dapat melihatnya dari kejauhan, dari balik tirai tempat ia beristirahat.

Tempat itu gelap, dan hanya ruangan dengan pemuda itu ia mendapatkan penerangan. Kilau rambut kebiruannya selalu berhasil menangkap perhatian perempuan kecil itu.

"Dia masih terlalu kecil," ungkap pemuda itu, entah pada siapa. "Ini terlalu–"

"Aku tahu." Suara feminin itu memotongnya. Irida dapat melihat seuntai tangan meraih bahu pemuda itu dari belakangnya, tetapi tidak wajah wanita itu. "Namun kita tetap harus melakukannya. Kita sudah melakukannya sejauh ini ... kita sudah tidak memiliki apa-apa lagi di tangan kita, hanya ini."

"Bayangkan apa yang akan terjadi padanya ... pada mereka," pemuda itu nyaris terbata, tangannya masih tertekan ke meja seakan-akan seluruh amarahnya ia alirkan pada benda itu, "Rasanya aku tidak ingin menampakkan wajahku ke siapapun lagi."

Hening sejenak, hanya napas sang pemuda yang perlahan memudar.

"Aku tahu apa yang kita perbuat mungkin salah," ujar wanita tadi tiba-tiba. "Namun ini yang sudah kita pilih–"

"Tuan Siegrain menjebak kita," tegas pemuda itu, membalikkan tubuhnya dan menyorotkan tatapan tajam. "Ia tidak mengatakan keluarga Marshy segila ini."

"Jadi kau pikir ...." Wanita itu menarik lengannya, hilang sepenuhnya dari lingkup pandangan Irida. "Kau pikir, ia berbohong pada kita, Seven?"

Pemuda tadi mengembuskan napas panjang. "Mungkin," lirih pemuda itu, "mungkin kita yang terlalu bodoh, Nada."

Rasa ngilu menyambar ubun-ubun Irida.

"Kakak!" Irida tersentak. Tubuhnya menegang dan kedua tangannya spontan meremas selimutnya. Apa yang baru saja ia impikan? Ia terisak.

"Ugh," tangannya menggaruk-garuk kedua matanya, "jangan menangis, jangan menangis ...."

Irida menarik napasnya dalam-dalam, menatap seisi kamarnya yang gelap di mana hanya cahaya rembulan menjadi penunjuk jalannya. Perlahan, ia membangkitkan tubuhnya yang masih terasa ringkih, lalu menapakkan kedua kakinya ke karpet. Kedua tangan ia regangkan ke atas, tak sengaja terselip satu kuapan besar dari mulutnya. "Kak ... Sev ...."

Kedua tangannya kini memeluk dirinya sendiri. Entah mengapa malam hawa dingin terus menggelitik kulitnya. Sebuah malam yang tidak begitu bersahabat, dan Irida kecil terlalu segan sendirian.

Tidakkah kita semua seperti itu?

Malam itu juga sunyi, terlalu sunyi hingga apa yang telinga Irida tangkap hanya bunyi langkahnya. Mata arangnya selalu menatap tiap sisi lorong, sesekali ke belakangnya. Tiap kali ia menoleh, langkah kakinya makin cepat.

Rasanya seperti ada sesuatu ... ada makhluk yang tengah memerhatikannya dari kejauhan, menatapnya dengan sepasang mata penuh rasa ....

Entah apa yang Irida pikirkan, tetapi kini ia benar-benar berlari. Jantungnya berdegup terlalu kencang, dan rasanya ingin ia berteriak memanggil seseorang--siapapun! Namun mulutnya tetap terkatup rapat, ia tidak ingin siapapun tahu bahwa ia terbangun. Ia tidak ingin ayahnya memberikan tatapan yang diberikan pada Lavia.

Suara langkah cepat terdengar dari belakang. Irida menggigit bagian bawah bibirnya. Tidak ada lagi gemilang bintang malam ini, tidak ada karena fokus Irida hanya tertuju pada satu pintu yang mengarah laboratorium–tempat amannya; tempat perlindungannya.

Namun belum ia melihat tangga mengarah lantai bawah tanah, melodi gesekan dawai biola terdengar di telinga Irida. Langkahnya terhenti, berusaha berfokus pada sumber suara itu. Ia membalikkan tubuhnya sekali lagi–gelap, tidak ada apa-apa di sana. Tidak ada suara langkah, deru napas, ataupun tanda-tanda kehidupan lainnya. Namun begitu, gadis mungil itu tetap melanjutkan pelariannya, sekali berbelok masuk ke lorong tanpa jendela untuk mendekati sumber suara itu.

Suara itu makin membesar, makin terdengar. Saat ia melihat sebuah pintu kayu berdaun dua menyisipkan sedikit cahaya di lantai kayu lorong, ia menghampirinya, mendobrak pintu itu.

Di dalam, seorang pemuda dengan biola di tangan kiri dan busurnya di tangan kanan menatap keluar jendela terbesar yang pernah ia lihat. Hamparan langit malam dengan beberapa pohon cemara mencuat dari bawah bingkai.

"Kak Sev?" Mata Irida berkaca-kaca. Namun pemuda itu masih memunggunginya.

"Tutup pintunya, Irida." Ia berbisik, dan Irida menurutinya. Baru setelah derit pintu tertutup didengarnya, pemuda itu menurunkan tangannya yang menggenggam busur, memberikan gadis mungil itu senyum tipis dan berkata, "Sekarang bukan waktu yang tepat untuk terbangun, bukan?"

Irida mendekatinya, meremas celana pemuda yang ganjilnya hanya mengenakan pakaian kasual saat itu–sebuah hoodie kelabu dengan celana jeans kehitaman. "Apa yang Kakak lakukan ...?"

"Aku juga baru terbangun," kilah pemuda itu, menaruh instrumennya pada sofa marun di hadapan perapian yang menyala, satu-satunya sumber penerangan di ruangan itu. "Mengapa kamu terbangun? Apakah suara biolaku mengganggumu?"

"T-tidak kok! Hanya ... mimpi buruk," balas Irida datar, bersungut seraya menatap pantulan api di atas lantai kayu yang telah dipelitur, "bukan, sih, sebenarnya ... lebih ke mimpi aneh."

"Aneh?" Pemuda itu menghempaskan tubuhnya sendiri ke salah satu dari tiga sofa di ruangan, seluruhnya menghadap perapian. "Sini, duduk di sebelahku. Irida ingin membicarakannya?"

Lihat selengkapnya