"Kau tidak bisa mengarang?"
Owena melipat kedua tangannya di depan dada, kesal dengan pertanyaan—ah sebenarnya, ia menganggapnya sebagai celaan—dari kakak yang masih terbilang baru itu.
"Aku tidak tahu apa yang harus kutulis," keluhnya, "aku tidak suka PR ini!"
"Namun kau harus mengerjakannya, Owena." Viderre menyentuh bahu gadis kecil itu, menyebabkannya berjengit sesaat. "Lagi pula temanya bebas, bukan?"
Irida menatap keduanya dari ranjang Owena, memeluk sebuah boneka anjing kecil berwarna kelabu. "Ceritakan tentang aku, Kak!" usulnya, lalu tertawa sendiri sambil menidurkan tubuhnya dengan boneka tadi.
"Ugh, tidak mau." Owena kembali menatap buku tulisnya, mengernyit keras sekali sehingga Irida dapat membayangkan kerutan di dahinya akan tertempel di sana selamanya. Ia memeluk bonekanya lebih erat.
Viderre mengerjapkan matanya beberapa kali, tak percaya ia harus membimbing seorang anak kecil untuk menulis. "Begini, bagaimana kalau kau menceritakan hari terbaik yang pernah kau alami?"
"Oh, oh, Irida tahu!" Gadis mungil kita melompat-lompat di atas kasur. "Kakak ingat saat kita bermain kejar-kejaran di halaman belakang? Bersama Kak Sev?"
"Dan aku terjatuh." Bibir Owena semakin tertekuk. "Itu bukan hari yang menyenangkan, itu menyebalkan!"
"Tapi itu lucu ...." Irida melemparkan pandangannya ke jendela, menatap sebagian langit biru dan hamparan pepohonan di bawahnya. "Bagaimana kalau tentang Kak Lavia?" gagasnya lirih.
"Siapa itu?" Viderre menyenderkan punggungnya ke dinding, bokongnya bertumpu pada meja belajar Owena.
Senyum Irida melebar. "Ah, Kak Lavia—"
"Orang yang menyebalkan," potong Owena. "Kak Lavia merupakan kakak kami, ibu bilang sekarang ia tengah mencari kerja di tengah kota. Aku yakin dengan sikap sok tahu dan berisiknya itu ia tidak akan mendapatkan uang sedikitpun."
"Hei!" sergah Irida, melepaskan pelukan bonekanya. "Tidak, aku yakin Kak Lavia sedang bersenang-senang di sana! Bermain dengan teman-teman barunya karena dia orang yang baik!"
"Astaga, mengapa kalian jadi berkelahi?" Gadis bersurai pendek itu memijit pelipisnya. "Owena, tulislah apapun yang ada di pikiranmu. Hal-hal yang menyenangkan, apapun itu, dengan siapapun itu. Aku hanya ingin kau menyelesaikan tugasmu sebelum waktunya camilan sore."
"Huh, baiklah." Ia menggenggam pensilnya erat-erat. "Kejadian menyenangkan ... oh, seperti saat aku berjalan-jalan di pantai!"
Viderre tersenyum puas. "Akhirnya ...." Ia mencampakkan tubuhnya ke ranjang Owena membuat tubuh kecil Irida terombang-ambing dan tergelak geli.
"Kak Viderre!" pekiknya, memeluk bonekanya yang nyaris terjatuh dari ranjang. Namun senyumnya perlahan sirna, tergantikan bibirnya yang mengerucut dan dahi yang berkerut. Manik hitam arangnya menatap Owena lekat-lekat. "Kapan kita pernah pergi ke pantai, Kak?"
Owena terdiam, tetapi Irida dapat melihat penghapus merah muda di pangkal pensilnya menari-nari di udara. "Pernah," ujar kakaknya itu tiba-tiba, "dua tahun yang lalu, saat ulang tahunku yang ke-10."
Irida menempelkan telunjuknya ke dagu, memasang pose berpikir. Viderre hanya menatapnya seraya meregangkan tubuhnya di atas kasur.
"Berarti umurku sembilan tahun, 'kan?" lirih gadis mungil itu. "... Aku tidak ingat ...."
"Bukan urusanku kau ingat atau tidak," gertak Owena, membuat Irida mendesah, murung.
"Sebentar, kalian berapa bersaudara, tepatnya?" tanya Viderre. Iris matanya yang senada dengan Irida berulang kali menatap Owena, lalu Irida lagi. "Kukira kalian hanya dua bersaudara?"
"Empat!" seru Irida. "Aku, Kak Owena, Kak Lavia dan Kakak."
"Tiga." Owena mendengus. "Aku, Irida, dan Kakak."
Viderre hendak mengatakan sesuatu, tetapi mulutnya kembali terkatup. Ia menatap Irida. Wajah anak itu sudah kembali berseri-seri, tersenyum lebar seraya memainkan telinga boneka anjing yang sudah mencuri perhatiannya sejak memasuki ruangan. Matanya kembali menatap langit-langit kasur, memerhatikan tiap corak yang tersulam pada tirai putih yang mengelilingi ranjang.
Terkadang ia masih mempertanyakan keberadaannya di sini. Seperti tentang mengapa ia kini bergabung dengan manusia-manusia yang baru ia kenal selama beberapa malam. Namun ada suatu hal yang lebih sering mengganggu pikirannya—apa yang sebenarnya terjadi di kediaman ini, seperti, percakapan tadi?
Belum banyak yang ia ketahui tentang keluarga Marshy. Yang ia tahu—dan ini semua masih spekulasi atas pengumpulan data-data yang ia dapat dari Sev—Nyonya Marshy hanyalah seseorang yang gila uang dan karenanya ia menikahi Tuan Marshy, dan pria tua itu merupakan salah satu dokter bedah terkemuka yang kebetulan selama satu minggu ke depan tidak akan ada di sini. Tuan Marshy tengah diminta menjadi seorang pembicara di sudut negara lain, ribuan kilometer dari ibu kota.
"Irida," panggil gadis itu, "berapa umur ibumu?"