Viderre lupa bagaimana cara menggunakan mulutnya yang masih fungsional untuk melakukan percakapan sehari-hari. Sesekali ia tergagap, terbata, atau yang paling buruk: lidahnya kelu dan ia hanya dapat mengekspresikan opininya dengan pandangan mata kala geliginya menggigit-gigit bagian dalam pipi. Oh, dan tambahan, itu terjadi ketika Nyonya Marshy bertanya, "Bagaimana perkembangan Owena menurutmu, Viderre?" pada waktu makan siang bersama.
"Ah, maafkan aku menginterupsi kunyahanmu. Habiskanlah terlebih dahulu." Wanita itu tertawa, tangan kanan menutup bibir yang dipoles lipstik jerau favoritnya akhir-akhir ini.
"Aku yang terbaik," Owena menyatukan kedua alisnya; mengepalkan kedua tangan dan menaruhnya di sisi-sisi piringnya yang hampir kosong, "dan akan selalu seperti itu."
"Tugas karangan Kak Owena amines!" imbuh Irida, tak sadar kedua kakinya berayun-ayun senang di bawah kursi. "Amines nama yang lucu, ya?"
Denting alat makan memenuhi ruangan. Irida tersenyum, mendengungkan irama buatannya sendiri dan melanjutkan makan siangnya.
"Dia baik-baik saja." Viderre meletakkan pisau dan garpunya, menaruh tangan di atas paha dan menatap ibunya dengan senyuman. "Namun mungkin masih ada beberapa hal yang dapat diperbaiki agar masa belajarnya lebih efektif. Aku yakin Owena akan mendapatkan sekolah menengah pertama terbaik, mungkin kelas akselerasi seperti yang diharapkan."
"Bagus sekali!" Tangan lentik Nyonya Marshy terangkat, memberikannya tepuk tangan kecil.
"Aku senang mendengarnya." Tuan Marshy berdeham, menjadikan dirinya pusat perhatian seantero ruangan. "Mungkin khusus untuk hari ini, waktu istirahat yang lebih panjang?"
Owena meringis, merasakan kepuasan atas hadiah kecil ayahnya. "Aku tidak menolak," jawabnya, masih memasang senyum lebarnya itu hingga ia keluar dari ruang makan.
"Kalian dengar kata ayah?" tanyanya, berkacak pinggang di hadapan kakak dan adiknya. "Waktu istirahatku bertambah, dan aku ingin kalian menemaniku menghabiskan waktu di taman belakang ... Sekarang!"
Anak itu terbirit melewati tangga, diikuti gelak tawa Irida yang mengekorinya. Di mata Viderre, keduanya terlihat seperti anak kembar yang mengibarkan langit malam dengan rambut hitam panjangnya. Yang membedakan keduanya hanya irisnya, Irida dengan manik gelapnya dan Owena dengan manik biru prusia.
"Kak Owena?" Irida memelankan langkahnya. Pandangannya terkunci pada jendela. Gemulung awan memenuhi langit, menutup mentari dan entah mengapa firasat buruk menghampirinya. "Di luar mendung ...."
"Sebentar saja!" balas gadis kecil di depannya. "Kenapa, kau takut kehujanan?" cibirnya, memberikan Irida senyum dan tatapan mengejek.
"Ti-tidak!"
Owena menertawakannya. Ia berbelok ke kanan, kini menatap pintu kaca yang menjadi median antara lorong dan gazebo kecil tempat minum teh keluarga Marshy. "Gelap, ya ...?"
Matanya melirik ke sisinya, melihat Irida dan Viderre sudah hampir mendekatinya. Ia membuka pintu, disambut dengan hembusan angin kencang yang memaksanya memicingkan mata.
"Owena, kau yakin-?"
"Irida!" Owena membalikkan tubuh, meraih lengan adiknya. "Ayo kita main di taman labirin!"
Irida memandangnya bingung. "Tapi ...." Ia menunduk, menatap sepatu hitam kecilnya. "Aku belum pernah, hanya sekali dengan Kak Sev dan Kak Sev menemaniku."
"Itu berarti Owena harus menjaga Irida, paham?" Viderre menarik salah satu kursi yang mengelilingi meja kecil di bawah kanopi. Tangannya meraih daun yang jatuh tertiup angin dari kepalanya. "Aku tunggu kalian selama ... setengah jam, karena ayah memberikan waktu istirahat lebih. Lima belas menit untuk perjalanan kita kembali ke kamar Owena dan bersiap-siap."
"Baik!" Owena tersenyum lebar. Tangan kanannya menggaet lengan adiknya. "Cepat Irida, kita tidak punya banyak waktu."
"Sampai jumpa nanti, Kak Viderre ...." Gadis mungil itu melambaikan tangannya lemas kala Owena menarik-nariknya. Viderre membalasnya dengan sebuah senyum kecut, kedua tangan dilipat di depan dadanya dan pandangannya beralih ke langit yang kian menggelap.
{{ Dan kau pikir semuanya baik-baik saja }}
"Kau harus membawaku ke sini lagi." Viderre memukul-mukul pelan bahu lelaki itu. "Gila, rasanya aku mau tidur sampai tidak bangun lagi karena aku yakin tidak ada burger yang jauh lebih enak!"
Pemuda itu terkekeh. "Kau bodoh, ya? Nanti ada yang rindu, kasihan dia."
"Ah, aku akan muntah lagi ...." Gadis itu menyembunyikan wajahnya ke bahu sang pemuda, meniru suara muntahan. Namun ia tersenyum di balik jaket gelap lelaki itu, berbisik, "Aku akan merindukanmu." seraya berharap sosok itu tidak mendengarnya.
"Kau tak apa, Vid?" Ia mengacak-acak rambut Viderre. "Tolong jangan bertingkah imut atau aku akan mati di tempat, paham?"
"Aku tidak imut ...." Viderre mencubit lengan kekasihnya, membiarkannya berteriak kencang hingga beberapa orang di tempat parkir itu menoleh ke arah mereka. "Diam, kau berisik sekali!"
Namun ucapannya itu malah membuat pemuda itu berteriak lebih kencang, lebih panjang, lebih-Viderre mengecup pipi pemuda itu, membuatnya berhenti seketika. Viderre membuang muka. "Kau memaksaku," ujarnya lirih.
Lawan bicaranya mengerjapkan mata beberapa kali. "Apa aku harus berteriak lagi?"