Iridescent

Hanina Dzikriya
Chapter #2

2| Patahan kata

Aku termenung cukup lama, masih menyadarkan diri dari rasa kantuk dan pusing. Tiba-tiba saja aku terbangun di dalam mobil Kenan, sewaktu aku membuka mataku dan ekor mataku tak sengaja melirik ke samping, Kenan tak bicara sepatah katapun. Dia hanya tersenyum lalu memalingkan wajahnya, berakhirlah aku dengan lamunan panjang diiringi musik lawas dari mobilnya.

"Masih mikirin apa, sih?" Sontak aku meliriknya. Kalimat tanya dari mulutnya seolah menyetrum diriku, menyadariku bahwa dia menunggu aku untuk berbicara.

"Ah, itu... aku baik-baik aja." Mendadak aku jadi kikuk.

Padahal Kenan sendiri tidak bertanya bagaimana keaadanku, tapi karena mobilnya terparkir di rumah sakit aku punya firasat kalau Kenan ingin aku memeriksa luka di kepalaku.

"Ikut gue," perintahnya tanpa menunggu respon dariku dan langsung keluar dari dalam mobil.

Aku mengikutinya, mencoba menyamakan langkah kakinya yang besar dan cepat. "Mau ke mana?" Aku memutuskan tak lagi mengikuti langkahnya, begitu dia menyadari kehadiranku yang sudah jauh darinya, Kenan berhenti dan membalikan badannya.

"Gue baik-baik aja, nggak perlu ke rumah sakit."

"Kalau nggak baik-baik aja?" Kenan mendekat.

"Kata siapa gue nggak baik-baik aja?" Aku melotot ke arahnya, kesal karena dia ikut campur soal lukaku.

"Karena itu, biar tahu apa lo baik-baik aja atau nggak, Lo harus di periksa." SKAKMAT! Aku tidak mampu berkata-kata lagi, hanya menatap manik matanya penuh kekalahan.

Kenan berdecak kemudian menghembuskan napas pelan. Dia menarik tanganku untuk mengikuti langkahnya kemana berakhir, baru ku sadari selama perjalanan aku tidak melihat satupun orang yang berkunjung ke rumah sakit karena dia membawaku harus melewati pintu darurat, melewati banyak anak tangga hingga akhirnya kami sampai di sebuah ruangan bernama Dr. Andriana.

Aku menjalani tes MRI, tidak harus menunggu lama agar hasil tesnya keluar. Dokter Andriana memberikan selembar kertas kepadaku, aku membacanya penuh teliti. Begitu banyak istilah-istilah kedokteran yang sulit kupahami, aku melirik dokter Andriana, ngomong-ngomong Kenan menungguku di luar ruangan.

"Benturan keras di kepala kamu cukup parah..." Dokter Andriana diam sesaat.

"Masalahnya, kamu harus kehilangan indra penciuman dan perasa untuk waktu yang panjang. Saya tidak tahu kapan semuanya kembali normal, tapi seiring waktu indra pencium dan perasamu akan kembali." Di akhir kalimat dokter Andriana tersenyum hangat sembari mengelus-elus tanganku seolah menenangkanku.

Rasanya seperti tersambar petir, takut-takut dan tak percaya. Takut harus mengakui bahwa aku tak bisa menjalani hari dengan normal, dan tak percaya harus kehilangan indra pencium dan perasaku. Saat ini pikiranku kacau, perasanku juga tak enak. Dadaku terasa sangat perih, aku bertanya-tanya dalam hati. Bagaimana bisa lukanya separah itu?

"Grizelle..." Dokter Andriana menyadarkan lamunanku.

Aku menoleh dan tersenyum, "Aku harus pergi." Aku berdiri sembari mengambil tas ransel disebelahku. Bahkan untuk melangkahkan kaki rasanya sulit, apalagi di luar ruangan aku harus berhadapan dengan Kenan.

Lihat selengkapnya