Bel masuk sudah berbunyi beberapa menit yang lalu, tapi koridor SMA Nusa Cendekia masih ramai oleh siswa dengan kemeja putih dan bawahan bermotif tartan.
“Permisi, permisi.” Cewek mungil itu menyalip di antara kerumunan.
Langkahnya memang pendek, tapi ia bergerak dengan gesit, hingga unggul dari siswa yang lain.
Ia hampir bernapas lega ketika lift yang dituju sudah terlihat.
Namun, tiba-tiba sebuah tangan menarik ujung ranselnya.
“Eh, eh, eh, apa ini?” Cewek itu berseru panik, tapi langsung memelotot saat mendengar suara yang familier di telinganya.
“Pagi, Cinta.” Di sampingnya, cowok bertubuh jangkung menyengir tanpa dosa. Kedua ujung bibirnya tertarik, hingga matanya menyipit.
“Eh, salah, Cinta mah udah kuno, yayangnya Rangga yang sekarang mah Iris.” “Aduh, Ga, lepasin, dong! Jam pertama Bu Tyas, nih.” Iris meringis berusaha membujuk Rangga, tapi tentu saja percuma. Rangga adalah spesies yang tidak akan melepaskan Iris meski cewek itu mengemis.
“Ck, siapa suruh telat? Kan, udah gue bilang, gue aja yang jemput, biar nggak telat.” Alih-alih melepaskan rangkulannya, Rangga justru berceloteh panjang lebar. “Tadi malem tidur jam berapa coba? Tuh, lihat mata lo udah kayak mata panda. Udah badan kayak panda, masa mata mau kayak panda juga?” “Lo mau mati, ya?” Iris memukul lengan Rangga, membuat cowok itu mengaduh kesakitan.
“Aw! Sakit, Iyis! Tega banget sama Babang.” Rangga memasang tampang terluka yang hanya disambut Iris dengan decihan.
Kekesalannya pada Rangga membuat Iris lupa dengan masalah utama, Bu Tyas. Ia bahkan tak menyadari Rangga hanya menekan angka 3 di lift.
“Lo bisa nggak sih, normal sedikit? Temenan sama Kak Arsen nggak ketularan cool-nya sedikit apa?” “Eits, enak aja kamu, Cinta, membandingkan Oppa sama Kanebo Kering.” Rangga menggelengkan kepalanya. “Nggak level lah yaw.” “Beneran deh, lo kebanyakan nyemil micin.” Rangga terkekeh geli mendengar ucapan Iris.
“Makanya Ris, setiap hari siapin gue makanan, dong, empat sehat lima sempurna. Kalau perlu, gue makan bayam biar kayak Popeye!” Rangga berkelakar heboh. Lift berdenting sekali, keduanya melangkah keluar.
“Lo mau, otot gede, tapi kepalanya kecil?” “Lo mau nggak punya cowok kayak gitu?” “Ogah!” seru Iris membuat Rangga mencebikkan bibirnya.
Mereka berdua berbelok ke kanan. Sesekali Rangga menyapa teman-teman seangkatannya yang berpapasan, sementara Iris hanya menundukkan kepala. Ia merasa ada sesuatu yang janggal.
“Tapi, iya juga ya, Ris, kenapa si Popeye punya otot gede, tapi kepalanya kecil begitu?” Rangga mengetuk dagunya dengan telunjuk, pura-pura berpikir.
Seperti tersadar sesuatu, tiba-tiba langkah Rangga terhenti, cowok itu berbalik menatap Iris dengan pandangan horor.
“Iris, gawat!” serunya panik. Cowok itu meremas bahu Iris gelisah, seolah-olah kalimat yang akan ia katakan adalah berita yang urgensinya setingkat dengan perang dunia.