Iris

Bentang Pustaka
Chapter #3

Toilet dan Mimpi Buruk

Rangga sialan! Iris bersumpah akan mengikat Rangga di pohon beringin legendaris, biar dijadiin gebetan Mbak Melati sekalian! Tadi, begitu Iris melewati pintu, wajah masam Bu Tyas-lah yang kali pertama ia temui. Meski Bu Tyas berdiri di dekat meja guru yang letaknya berlawanan dengan pintu masuk, tapi mata laser Bu Tyas yang tajam membuat Iris merasa ia tengah didakwa di ruang sidang.

“Airis Kasmira?” “Iya, Bu?” Iris menelan ludah, menyadari bahwa kalimat yang akan Bu Tyas katakan, mungkin menjadi trompet sangkakala bagi nilai Matematikanya.

“Berdiri di depan kelas dengan tangan terangkat sampai jam pelajaran saya selesai. Dan, yang lain,” Bu Tyas menjeda sejenak, memperkuat atmosfer horor yang tercipta, “siapkan kertas ulangan sekarang.” Seluruh isi kelas mendesah berlebihan lantas menatap Iris dengan tatapan siap memangsa.

Gara-gara Iris, mereka semua ketiban sial! Ulangan dadakan pada jam pertama, Matematika pula! “Tapi, Bu, ulangan saya” Kalimat Iris terhenti di ujung lidah karena tatapan membunuh yang Bu Tyas layangkan.

“Baik, Bu, saya keluar.” Dengan lesu, Iris menyeret langkah kakinya keluar pintu kelas, kemudian mengangkat tangan tinggi-tinggi. Dalam hati, ia bersumpah akan membunuh Rangga nanti.

“Ga, Iris lagi dihukum,” bisikan dari Gema otomatis menghentikan pergerakan tangan Rangga.

“Tahu dari mana lo?” Sebenarnya Rangga tidak perlu bertanya, karena ia adalah penyebab Iris dihukum.

“Tadi waktu gue sama Edgar mau ke koperasi, kita mampir ke kantin lantai dua, eh, tuh cewek lagi di depan kelas sambil ngangkat tangan.” Senyum semringah langsung tercetak lebar di bibir Rangga.

Kemudian, ia menutup bukunya.

Ada yang lebih menarik daripada buku pelajaran.

Rangga pun bangkit dari kursinya. Lewat tatapan mata, ia memberi kode kepada Gara yang duduk di baris berbeda. Gara langsung menangkap kode itu pada detik pertama.

“Mau ngapain lo?” tanya Edgar bingung karena Rangga tiba-tiba berdiri.

“Mau pacaran, dong!” seru Rangga dengan mata berbinar-binar.

Dengan langkah santai, cowok itu meninggalkan mejanya, menuju pintu kelas. Pak Ruslan yang sedang menulis di papan tulis tersadar, ketika ekor matanya tak sengaja menangkap sosok Rangga yang berlalu tanpa dosa.

“Rangga, mau ke mana kamu?” tegur Pak Ruslan menghentikan aktivitasnya. Pria itu menatap anak didiknya dengan tatapan menyelidik. Begitu pula dengan seisi kelas. Kelakuan nyeleneh Rangga selalu mereka tunggu-tunggu.

Rangga tidak menggubris pertanyaan Pak Ruslan, kakinya terus melangkah. Pak Ruslan akhirnya mengetuk-ngetukkan spidol hitamnya di papan tulis.

“Rangga, kembali ke kursi kamu atau saya hukum!” Mendengar ancaman Pak Ruslan, langkah Rangga sontak terhenti. Pak Ruslan melongo, tak menyangka ia akhirnya bisa menangani anak satu ini.

Pak Ruslan hampir mengucap hamdalah ketika Rangga tiba-tiba saja berbalik.

Berbeda seratus delapan puluh derajat dengan perkiraannya, mata Rangga justru berkilat-kilat antusias, persis mata SpongeBob saat kali pertama mencoba krabby patty.

“Ide bagus, Pak! Saya ikhlas Bapak hukum!” seru Rangga bersemangat. Seisi kelas langsung mengulum bibirnya, menahan ledakan tawa yang ingin meloncat keluar. “Tapi, dihukumnya di depan kelas XI IPS 2 ya, Pak? Biar saya ada temennya.” “Rangga, kamu” Wajah Pak Ruslan memerah, menahan geram.

Dua tahun lebih menangani Rangga, tak lantas membuatnya terbiasa dengan kelakuan anak bengal tersebut.

Rangga yang sadar bahwa ia mulai kelewatan akhirnya mengalah.

Dengan sopan dihampirinya guru berumur 50-an tahun tersebut.

Disaliminya tangan Pak Ruslan, membuat pria itu terlonjak kaget karena perlakuan sopan Rangga.

Setelah beberapa detik terlewati, Rangga mengangkat kepalanya.

Lihat selengkapnya