Jeremy’s POV
Hari ini aku dan Lala akan pulang. Daritadi smartphoneku terus-terusan berdering. Aku jamin itu Aiden yang nelpon. Tanganku penuh dengan barang-barang untuk dibawa pulang jadi aku tidak bisa mengangkat telfonnya. Setelah sampai di dalam pesawat, aku mematikan smartphoneku. Lala terlihat cemberut karena harus pulang.
“Masih belum puas liburannya?” tanyaku padanya.
“Puas sih, tapi tetep aja masih betah di situ,”
Aku mencubit pipinya yang sedang dikembungkan itu karena gemas.
“Kamu kan ada jadwal kontrol ke dokter, aku juga masih banyak kerjaan. Kapan-kapan kita ke sini lagi yah,”
“Shakiitt… jangan dicubit,”
Dia memegang kedua tanganku yang sedang mencubit pipinya lalu menyingirkan tanganku. Lagi-lagi kami ketiduran di pesawat. Saat sampai di Indonesia, aku menyalakan smartphoneku. 120 Panggilan tak terjawab dari Aiden. Itulah yang tertampilkan di layarku saat aku menyalakan telfonku. Baru saja aku mau menelfon Aiden, dia sudah menelfonku duluan.
Aiden : “Lu bilang cuman 1 minggu ke sono. Ini udah 2 minggu lebih. Jalan-jalan ae terus, nih kerjaan numpuk banget. Semuanya gw yang ngerjain ampe gempor.”
Aiden berbicara dengan nada yang sangat tinggi dan tidak santuy. Aku sampai harus menjauhkan smartphone itu dari telingaku. Suara teriakannya membuat telingaku sakit.
Jeremy : “Santuy bro, ini kan gw udah balik.”
Aiden : “Santuy nd*smu. Gaji gw naek 3x lipat yeh. Capek nih gw.”
Jeremy : “Yaudah ah, banyak ngeluhnya lu. Sekarang, bantuin gw dulu nih di bandara. Barang bawaan banyak banget nih.”
Aiden : “Ba***e! Gw lagi nyiapin rapat ini, ah!. Minta suruhannya Steve sono!”
Aiden mematikan telfonnya. Aku terheran-heran dengan kelakuan sekretarisku yang satu ini. Ngak ada ahlklak emang nih orang. Udah nelfonnya ngebentak-bentak, minta naek gaji lagi. Lala menghampiriku yang hendak menelfon Steve.
“Gimana si Aiden? Udah jalan?” tanyanya.
“Boro-boro dia jalan ke sini. Dia bentak-bentak aku yang ada. Aku mau telfon Steve dulu, biar dia aja yang bantuin aku,”
Lala kembali berdiri di sebelah Ningsih yang menjaga barang bawaan.
Jeremy : “Bro! Ada yang lagi gabut ngak?”
Steve : “Si Thomas tuh lagi gabut. Napa emangnya?”
Jeremy : “Bantuin gw di bandara sini. Barang-barangnya banyak, abis pulang dari Jepang.”
Steve : “Sep bro! Gw suruh berangkat sekarang.”
Sekitar 20 menit kemudian, Thomas kelihatan datang membawa mobilnya. Barang-barang sebagian aku letakkan di mobilku yang disupiri oleh Pak Tresno, dan sebagian lagi aku letakkan di mobil yang dibawa Thomas.
Priscilla’s POV
Liburan itu memang menyenangkan. Kalian tahu apa bagian terburuk dari liburan? Pulang. Rasanya aku ingin di sini berlama-lama. Tapi liburan itu tidak akan terasa menyenangkannya kalau terlalu lama. Karena kalau terlalu lama maka sensasi menyenangkannya akan tergantikan dengan rasa bosan. Di bandara aku bisa mendengar telfon Jason terus-terusan berdering. Pasti Aiden yang menelfonnya.
Sesampainya di Indonesia, seorang bawahan Jason membantu kami membawa oleh-oleh dari Jepang. Aku menelfon Irene dan Tias agar datang ke rumahku untuk mengambil oleh-oleh mereka. Saat aku masuk ke dalam rumah, Claud langsung loncat-loncat di kakiku. Aku langsung menggendongnya. Dia sangat bahagia melihatku pulang. Aku mengambil sebuah mainan berbentuk tulang lalu memberikannya pada Claud. Mainan itu bunyi setiap digigit oleh Claud.
Setelah beberapa lama bermain, aku mendengar bel rumahku bunyi. Ningsih langsung sigap membukakan gerbang dan pintu. Rupanya itu Tias dan Irene yang datang.
“Temen dateng bukannya disambut,”
Irene datang lalu duduk di sofa. Aku duduk di sebelahnya lalu disusul Tias.
“Ini si Claud kan lagi kangen ama gw. Claud ini sapa ountie.”
Aku menggendong Claud lalu meletakkannya di pangkuan Irene.
“Kok lucu banget sih!”
Irene mengangkat Claud lalu memandangnya gemas.
“Siapa dulu yang punya,”
Aku membanggakan diriku sebagai pemiliknya.
“Halah! Yang punya mah buluk,”
“Kurang ajar emang lu!”
“Rebahan di sofa lu enak juga yeh. Lebih empuk dari kasur gw ini,” kata Tias yang terlihat baring di sofaku.
“ Kasur buluk jangan lu bandingin ama sofa punya holkay. Gak level!” Balas Irene.
“Kok malah jadi lu yang ngegas sih hahahaha,”