Is It A Fake Love?

SunJe
Chapter #10

Her Past

Priscilla’s POV

Aku jalan sendirian di jalanan yang ramai ini. Aku tidak tahu harus ke mana atau makan apa. Aku tidak kenal siapapun lagi. aku menemukan sebuah gang buntu, akupun beristirahat di gang itu. Aku mencoba tidur di gang itu. Saat aku sedang tidur, aku mendengar ada suara lalu akupun terbangun. Ada beberapa orang yang terlihat mencurigakan tapi aku tidak perduli.

“Duh, kacau! Tuh anak ngeliat. Gimana dong?” 

Sekelompok orang itu tampak menunjuk-nunjukku.

“Telfon bos aja kalo gitu.”

Salah satunya tampak mengambil handphone lalu menelfon bos yang mereka sebut-sebut itu. Aku kembali tidur lagi tak menghiraukan mereka. Anehnya, saat aku bangun, aku berada di sebuah kamar yang luas dan terbaring di ranjang yang empuk. Aku sangat terkejut.

“Kau sudah bangun rupanya.”

Ada seorang wanita yang duduk dengan elegan di meja kaca. 

“Aku ada di mana? Terus kamu siapa?” tanyaku padanya.

“Kau memang benar-benar anak terlantar, bahkan kau tidak mengenal kata tante,” kata wanita itu padaku.

“Mulai sekarang panggil aku tante. Sekarang kamu ada di rumah tante. Nama tante Mary, siapa namamu?” lanjut wanita itu lagi.

“Aku ngak punya nama,” jawabku. 

Setelah itu, tante mengajakku turun ke lantai 1. Di sana ada meja yang luas, lalu di atasnya ada banyak sekali makanan. Ia menyuruhku duduk di salah satu kursi yang kosong. Tante duduk di sebelah pria yang aku tidak kenali, sepertinya itu suaminya tante.

“Ini suami tante, kamu panggil dia om.”

Tante mengenalkan dia padaku, setelah itu mereka mempersilahkanku makan. Mereka mulai berbisik-bisik, aku bisa mendengarnya walau aku tidak mengerti maksudnya.

“Ngapain kamu bawa anak jalanan ke sini?” tanya om.

“Aku nemuin dia di gang, menurutku dia menarik jadi aku bawa dia pulang,”

“Aku tahu kita ngak punya anak. Tapi, panti asuhan kan banyak kenapa harus anak jalanan coba? Kamu liat aja cara makannya, dia makek sendok aja ngak bisa. Gimana sama surat-suratnya? Emang kamu pikir ngak ribet apa ngurusinnya?”

“Aku punya rencana yang bagus, kamu ikutin aja alurnya,”

“Kalo kamu memang punya rencana, aku percaya kamu,”

Mereka memberikanku dua buah benda aneh, mereka menyebutnya sendok dan garpu. Tante menunjukkanku cara memakainya. Ternyata benda itu dipakai untuk makan.

“Bagaimana kalau tante panggil kamu Lala?” tanya tante padaku.

“Kenapa Lala? Itu kan nama anak kita yang meninggal dulu,” tanya om dengan heran pada tante.

“Justru karena Lala udah meninggal, aku ngasih namanya ke anak ini. Karena yang meninggal tak bisa kembali lagi, jadi sayang aja kalo namanya ngak digunain,” jawab tante pada om.

“Jalan pikiranmu tak pernah bisa aku tebak,”

Akupun akhirnya setuju untuk dipanggil dengan nama Lala. Tante Mary menyewa seseorang untuk mengajariku membaca, menghitung, dan beberapa hal lainnya. Dalam 1 minggu aku mempelajari sangat banyak hal, dan aku sangat senang. Tapi setelah 1 bulan, tiba-tiba orang yang disewa itu lenyap. 

“Tante, hari ini Miss Amy ngak dateng lagi?” tanyaku padanya.

“Kamu udah ngak perlu lagi Miss Amy. Kamu udah nguasain hal-hal yang perlu kamu kuasain, bahkan lebih dari yang tante targetkan. Tante bakal sekolahin kamu bulan Agustus nanti.”

Aku tidak tahu apa itu sekolah, tante menjelaskannya dengan sabar. Aku sangat antusias bersekolah, karena kata tante banyak anak-anak di situ. Aku ditempatkan di kelas 1 SD, dan benar saja ada banyak anak-anak yang seumur denganku. Anehnya, nama lengkapku yang tante daftarkan di sini adalah Priscilla. Kami berkenalan dan bermain bersama. Pelajaran terasa gampang karena Miss Amy sudah mengajarkannya padaku. Aku mendapat banyak nilai 100. Tante akan memberikanku pujian setiap aku mendapat nilai 100, aku sangat senang dipuji olehnya. Karena dengan dipuji, aku merasa berguna.

Suatu hari saat pulang sekolah, tante telat menjemputku. Taman sudah sepi, hanya menyisakan aku. Akupun berniat memainkan ayunan, saat aku lihat ternyata ada seorang bocah laki-laki yang tampaknya lebih tua dariku. Ia bermain di ayunan sebelah. Sebenarnya aku risih bermain sebelah orang asing tapi mau gimana lagi. Mau tidak mau akupun memainkan ayunan sebelahnya.

“Ngak bisa main di tempat lain apa?” tanyanya padaku dengan sinis.

“Ngak mau! Emangya kenapa? Ini kan punya sekolah, bukan punya kamu,”

“Dasar bocah!”

“Kamu kan juga bocah!”

“Tapi aku jauh lebih tinggi dari kamu tuh!”

“Tetep aja kamu bocah!”

“Serah kamu deh,”

“Memangnya kenapa kamu cemberut gitu?”

“Karena nilaiku dapet 95,”

“Masa gitu doang kesel. Itu kan udah bagus,”

Lihat selengkapnya