Jeremy’s POV
Aku tersadar dari pingsanku. Terakhir yang ku ingat ada yang memukul punggungku dengan bat. Aku merasakan tangan dan kakiku diikat ke kursi. Satu hal yang terlintas di pikiran ku sekarang. Oh, aku diculik. Ruanganku terasa gelap, aku tidak tahu apakah sekarang siang atau malam. Yang pasti, setelah pingsan aku kebablasan tidur. Karena aku mendapatkan mimpi tadi.
“Woi, nyalain lampu!” teriak seseorang yang rasanya ada di depanku.
Atau mungkin dia di belakangku? Aku tidak tahu karena ruangan masih gelap. Tidak lama, lampu menyala. Ternyata orang itu ada di sampingku. Dan, dia adalah pamanku.
“Lama tidak bertemu, Jeremy.”
Ia menarik satu kursi lagi lalu duduk di depanku.
“Kalo mau ketemu tinggal ngomong aja sih, ngapain sampe begini,”
Kataku dengan sinis padanya. Ia tersenyum menyeringai.
“Kau pikir aku bodoh? Aku tahu kalau aku memanggilmu dengan cara biasa maka kau tidak akan datang,”
“Tentu saja tidak, untuk apa aku bertemu denganmu? Kau sudah membunuh Jason,”
“Hahahahah kembaranmu hanya sedang sial saja. Padahal aku mencintai kalian seperti anakku sendiri,”
“Cih! Kalau memang benar begitu, maka kau tidak akan mencuri warisan kami dan menjualnya secara illegal. Bahkan sekarang kau membuka bisnis yang illegal,”
“Bagaimana yah… kita ini kan keluarga, lagipula aku hanya mengambil sedikit bagian saja. Kau juga tidak terlalu dirugikan,”
“Seorang kriminal tetap saja kriminal. Bahkan kau tega membunuh Jason,”
“Dia tahu terlalu banyak. Berikutnya giliranmu,”
Tatapannya berubah menjadi tatapan dingin yang mengatakan kalau aku adalah target selanjutnya.
“Aku sudah memperingatimu waktu itu untuk tidak ikut campur terlalu banyak. Kau dan adikmu itu sama-sama lebah pengganggu. Ingatlah, seekor lebah madu tidak mungkin menang dari tabuhan,”
Aku merasa sangat emosi saat mendengar hal itu. Tapi aku mencoba mengendalikan emosiku, karena aku berada di posisi yang tidak menguntungkan sekarang.
“Ah! Aku sampai hampir lupa. Masuklah!”
Tiba-tiba saja masuk 6 orang berbadan besar ke ruangan itu bersama Oscar.
“Bisa dibilang ini hukumanmu. Harusnya kau mengikuti nasehatku dari awal. Yah, sampai di sini saja pembicaraan kita. Sampai berjumpa lagi, kalau kau bisa keluar.”
Paman keluar dari ruangan itu. Oscar melepas ikatanku, tiba-tiba saja mereka mulai menyerangku bertubi-tubi. Untuk beberapa saat di awal aku masih bisa menangkis dan menyerang balik. Tapi, aku sendirian di sini. Sedangkan mereka ber-6. Saat aku mulai kewalahan, tiba-tiba saja aku merasakan kepalaku dipukul. Penglihatanku memburam, aku terjatuh ke lantai. Aku dapat mendengar sayup-sayup ucapan mereka.
“Kita apakan dia?”
“Buang saja ke sungai terdekat!”
Apa ini akhir hidupku? Kalau memang begitu, harusnya aku lebih memilih selalu berada di samping kembaranku dibanding menyelamatkan cabang di Amerika. Andai saja aku bisa kembali ke masa lalu. Aku akan lebih fokus ke keluargaku satu-satunya itu. Aku kehilangan kesadaranku sepenuhnya dan tak tahu apalagi yang terjadi.
Priscilla’s POV
Aku kembali menjenguk Jeremy hari ini. Ia masih terlihat suka melamun sendiri. Sejak hari itu dia jadi agak lebih pendiam dari biasanya. Seperti kehilangan arah hidup.
“Sebenernya kamu kenapa sih? Keknya belakangan melamun mulu dah,” tanyaku pada Jeremy.
“Ternyata bener kata orang. Kalau kita berada dekat dengan titik kematian, kau akan tahu hal apa yang sebenarnya paling kamu sesali,” jawabnya.
“Kamu ngomongnya serem banget,”
Tiba-tiba dia menoleh padaku dan tersenyum manis.
“Setidaknya aku masih punya kalian yang benar-benar perduli padaku,”
“Udah sakit masih ngegombal aja,”
Aku menyuapinya apel yang telah selesai kupotong. Tak lama, Steve datang ke ruangan.
“Jer, hp lu kagak disadap,” kata Steve.
Raut wajah kami berubah menjadi serius.
“Kalau bukan hpmu terus siapa?” tanyaku.
“Coba kupikir-pikir. Orang yang bertemu dengan Paman Tim belakangan selain aku,” kata Jeremy.
Seketika semua mata tertuju padaku.
“Apa? Kenapa? Kok jadi pada ngeliatin aku?” tanyaku lagi.
“Boleh pinjem hpmu?” tanya Steve.
Akupun memberikan handphoneku. Ia mengecek seluruh bagiannya, tiba-tiba ada sebuah alat kecil yang ia cabut dari hpku.
“Ini penyadapnya,” kata Steve.
Aku sangat terkejut melihatnya.
“Aku minta maaf, aku tidak tahu ada penyadap di hpku,” kataku meminta maaf.
“Ngak masalah. Lagian ini ulah si ce*****k itu,”
“Udah-udah jangan bahas gituan mulu, kamu kan harus cepet sembuh. Pikirin hal-hal yang nyenengin aja,” kataku untuk merubah suasana.
“Hal yang nyenengin? Contohnya?” tanya Jeremy.
“Aku,” kataku dengan pipi yang memerah.
Dia mencubit pipiku sambil tersenyum lebar.
“Tadi siapa yah yang ngatain aku gombal?”
“Kayak kenal,”
Kamipun tertawa bersama-sama. Suasana seperti inilah yang paling aku sukai. Walau hanya sesaat, aku ingin melupakan masalah-masalah hidup kami yang keruh. Ternyata menjaga sebuah senyuman untuk tetap berada di wajah itu sulit. Tapi setidaknya, kalau bisa melihat senyumannya walau hanya sekali sehari saja rasanya aku bisa hidup sejahtra. Setelah ia menghabiskan apelnya, aku pulang ke rumah.
“La, kebetulan kamu sudah pulang.”
Mama memanggilku duduk di ruang tamu. Di sana terlihat seorang pria memakai jas rapih duduk di sebelah papa.
“Itu siapa ma?”
“Itu Detektif Hansen, dia yang akan nanganin kasus penculikan kamu,”
Aku baru tahu kalau mama menyewa detektif untuk menangani kasusku. Tapi ini berita baik, semakin banyak orang yang menyelidiki maka akan semakin cepat selesai. Dia menanyakanku beberapa hal-hal yang menurutnya adalah petunjuk dari kasus itu. Aku langsung memberitahunya nama orang yang menculikku, tapi dia bilang akan sulit untuk menjadikan mereka tersangka. Karena mereka juga salah satu figur public. Mereka sering muncul dalam beberapa acara bergengsi. Bagaimana tidak, dia salah satu pemegang saham terbesar beberapa perusahaan belakangan.
Jeremy’s POV