Perasaan tadi aku masih berada di atas tempat tidur, setelah semalam menghabiskan dua loyang martabak keju dan martabak kacang sendirian saja. Kenapa sekarang aku seperti berada di...
...orang-orang di sekitar aku mereka berbicara dalam bahasa Arab. Di ujung jalan sana, tertulis nama kota: Ramallah.
What? Aku kini berada di Palestina? Sejak kapan?
Tarik, embus.
Kuputuskan untuk berjalan-jalan sebentar. Mungkin ini hanya mimpi. Begitu ada goncangan, pasti aku akan terbangun. Pastilah itu. Aku yakin sekali.
Namun, aku baru sadar ada yang aneh. Padahal sebelumnya aku tidak bisa berbahasa Arab. Lagi pula aku Kristen sejak lahir. Seharusnya aku tidak fasih dengan bahasa Arab di sekitar aku. Kenyataannya aku paham dengan yang mereka bicarakan. Sampai akhirnya, salah seorang pemuda yang lebih muda dari aku, ia beringsut dan berkata:
"Hai, Kawan. Aku Abdoul. Kamu siapa? Sepertinya kamu bukan dari Ramallah. Orang asing? Seperti dari Asia Tenggara."
Perasaan tadi aku masih berada di atas tempat tidur, setelah semalam menghabiskan dua loyang martabak keju dan martabak kacang sendirian saja. Kenapa sekarang aku seperti berada di...
...orang-orang di sekitar aku mereka berbicara dalam bahasa Arab. Di ujung jalan sana, tertulis nama kota: Ramallah.
What? Aku kini berada di Palestina? Sejak kapan?
Tarik, embus.
Kuputuskan untuk berjalan-jalan sebentar. Mungkin ini hanya mimpi. Begitu ada goncangan, pasti aku akan terbangun. Pastilah itu. Aku yakin sekali.
Namun, aku baru sadar ada yang aneh. Padahal sebelumnya aku tidak bisa berbahasa Arab. Lagi pula aku Kristen sejak lahir. Seharusnya aku tidak fasih dengan bahasa Arab di sekitar aku. Kenyataannya aku paham dengan yang mereka bicarakan. Sampai akhirnya, salah seorang pemuda yang lebih muda dari aku, ia beringsut dan berkata:
"Hai, Kawan. Aku Abdoul. Kamu siapa? Sepertinya kamu bukan dari Ramallah. Orang asing? Seperti dari Asia Tenggara."
Aku refleks mengangguk. "Namaku... Iman. Dari Indonesia."
Dia menaikkan alis, lalu tersenyum singkat. "Indonesia? Wah, jauh sekali. Aku pernah dengar tentang negara itu. Katanya negeri dengan banyak pulau."
Aku mengangguk lagi. Suasana sekitar terasa asing tapi sekaligus nyata. Jalanan Ramallah berdebu, penuh dengan toko-toko kecil yang menjual buah delima, kurma, kain, dan bendera Palestina yang berkibar dari tiang bambu seadanya. Orang-orang berlalu lalang dengan wajah yang penuh beban, tapi mata mereka menyala, seperti menyimpan bara semangat yang tak pernah padam.
Abdoul menepuk bahuku. "Kamu pasti lapar. Ayo ikut aku. Ibuku bisa memasak roti dan hummus. Itu sederhana, tapi cukup untuk mengisi perut."
Aku ingin menolak, tapi entah kenapa langkahku malah mengikuti dia.