Aku seharusnya bersyukur karena sudah diselamatkan oleh bapak-bapak berkulit putih pucat ini.
Eh, sebentar, tiga orang tentara tadi itu... di badge-nya, mereka seperti tentara Soviet.
Sekonyong-konyong aku tersentak. Aku dikagetkan oleh bapak-bapak yang menyelamatkan aku. Tadi ia mengenalkan dirinya sebagai Igor. Kini aku berada di dalam rumahnya yang tak begitu mewah. Selain dia, di hadapannya, ada Irina, yang ini istrinya. Lalu, di samping aku, ada Tatiana, anak sulungnya yang mengaku berusia 20 tahun, dan sedang kuliah Ilmu Politik. Di samping Tatiana, ada Vladimir, adiknya Tatiana, yang masih SMA.
"Kau bilang, kau dari Indonesia?" tanya Igor yang menawarkan aku roti khas daerah sini. Kata Igor, aku sedang berada di Kaliningrad.
"Kau bilang, kau dari Indonesia?" tanya Igor yang menawarkan aku roti khas daerah sini. Kata Igor, aku sedang berada di Kaliningrad.
Aku menelan ludah. "Iya, betul. Indonesia, yang masuk ke dalam kawasan Asia Tenggara."
Igor mengerutkan keningnya, lalu menyodorkan cangkir teh panas. "Aku pernah dengar nama itu. Negara yang jauh sekali. Bagaimana bisa kau ada di sini, di tengah kota kami?"
Aku menatap teh itu, lalu menghirup aromanya. Hangat, tapi hatiku tetap dingin. "A-aku tidak tahu. Sungguh. Semalam aku masih di rumahku. Pagi ini aku sudah di sini."
Tatiana mendongak, alisnya terangkat. "Itu mustahil. Kau pasti mata-mata. Mungkin NATO yang mengirimmu."
Aku tersedak mendengar tuduhan itu. "Apa? Tidak! Aku bahkan tidak mengerti kenapa aku bisa muncul di sini. Aku bukan mata-mata. Berani sumpah!"
Vladimir, yang sejak tadi diam, tertawa kecil. "Tatiana, jangan buru-buru menuduh. Lihat wajahnya, polos sekali. Mata-mata macam apa yang kelihatan kebingungan seperti itu?"
Tatiana melotot ke arah adiknya, tapi tidak membalas. Sementara itu, Igor hanya terdiam lama, menatapku seakan ingin membaca isi kepalaku.
Aku akhirnya mencicipi roti hitam yang mereka hidangkan. Rasanya padat, agak asam, tapi cukup mengenyangkan. Irina menambahkan semangkuk sup borscht ke mejaku. Aku mengucapkan terima kasih seadanya.
"Aku benar-benar tidak tahu, Pak Igor," kataku sambil mencoba menenangkan suasana. "Aku tidak tahu ini tahun berapa, atau kenapa tentara yang menyelamatkanku memakai seragam Soviet."
Igor menatapku lekat-lekat. "Ini tahun 1983. Kami di bawah pemerintahan Uni Soviet. Kau sungguh tidak tahu?"
Aku hampir menjatuhkan sendok. Tahun 1983? Jadi aku bukan hanya berpindah tempat, tapi juga waktu?
Kepalaku berdenyut. "Jadi... ini Kaliningrad tahun 1983. Dan aku, orang asing dari masa depan... atau dari entah mana... yang bingung, kenapa nyasar ke sini."
Tatiana tertawa pendek. "Kau makin aneh saja. Tapi... kalau kau benar, ini menarik. Kau bisa jadi subjek penelitian di kampusku."
"Aku bukan kelinci percobaan," kataku spontan. Aku meradang mendengar jawaban Tatiana tersebut. Tatiana cantik dengan kecantikan khas Eropa Timur, tapi mulutnya tajam juga.
Vladimir menyenggol lenganku. "Tenang saja. Kalau memang kau dari masa depan, coba buktikan. Apa yang akan terjadi setelah 1983?"
Aku terdiam. Haruskah aku jujur? Namun kalau aku bilang sesuatu yang salah, bisa-bisa aku dituduh penyebar hoax atau bahkan mata-mata. Aku menarik napas. "Aku hanya tahu garis besar. Tahun-tahun setelah ini... Uni Soviet mungkin akan menghadapi banyak masalah ekonomi. Dan pada akhirnya... runtuh."
Ruangan seketika hening. Igor memandangku tajam, sementara Tatiana tampak terkejut, dan Vladimir mendekat, matanya berbinar.
"Uni Soviet... runtuh?" tanya Igor dengan suara berat.