Bangun-bangun ternyata aku masih berada di Kaliningrad. Masih di rumah keluarga Igor Smirnov. Yang membangunkan aku adalah Igor dan istrinya. Jam weker di sebelah aku menunjukkan pukul 04.23 waktu setempat.
Sebelum keluar kamar, mereka mengatakan padaku bahwa mulai detik ini, statusku adalah tunangannya Tatiana, putri sulungnya. Harus seperti itu demi menghindari kecurigaan warga dan tentara Soviet. Supaya lebih meyakinkan lagi, pagi ini aku harus menemani Tatiana ke kampusnya.
Aku sih mau saja. Di tempat tinggal asliku saja, selain hanya sebagai seorang beban keluarga, aku pun lajang dengan kehidupan percintaan yang nelangsa sekali. Lebih sering ditolak. Lebih sering bertepuk sebelah tangan. Kali ini, di dunia dan era ini, aku bertunangan dengan seorang perempuan Rusia yang cukup cantik.
Udara Kaliningrad benar-benar menusuk tulang. Dingin yang berbeda dari dingin dalam imajinasiku selama ini. Saat aku keluar kamar, Igor menepuk bahuku dengan keras, seakan menegaskan tanggung jawab besar yang baru saja mereka sematkan padaku. Tatiana sudah berdiri di dapur dengan rambut tergerai, mengenakan mantel bulu tipis yang membuat wajahnya semakin memancarkan keanggunan khas perempuan Rusia. Sesekali ia melirikku, seperti menimbang apakah aku bisa memerankan peran sebagai tunangannya dengan meyakinkan.
"Jangan lupa," kata Igor dengan suara rendah namun tegas, "kau harus menjaga tatapanmu. Warga bisa menilai hanya dari bagaimana matamu melihatnya."
Aku hanya mengangguk, mencoba menutupi rasa gugup yang merambat naik dari dalam dada.
Sebelum berangkat, aku diberi sarapan roti hitam dengan mentega tipis dan segelas teh hangat. Rasanya sederhana, tapi justru menancap dalam ingatan. Tatiana duduk di seberangku, tangannya sesekali menyentuh gelas porselen putihnya, sementara matanya memerhatikanku tanpa banyak bicara. Sesekali senyum tipis itu muncul, dan entah kenapa aku merasa semakin sulit membedakan antara kepura-puraan dan kenyataan.
Kami berjalan menuju kampusnya melewati jalan berbatu yang masih basah oleh embun. Bangunan-bangunan tua bergaya Eropa Timur berjajar, sebagian kusam, sebagian masih terawat. Orang-orang yang kami lewati menoleh sekilas, dan secara refleks Tatiana menggenggam tanganku. Hangat dan erat. Seketika aku merasa degup jantungku tak terkendali. Aku sempat ingin melepaskan, tapi genggamannya justru menguat.
"Kalau kau terlihat canggung, mereka akan curiga," bisiknya lirih.
Aku mengangguk, meski dalam hati aku tahu genggaman itu membuatku lebih canggung.
Di gerbang kampus, sejumlah mahasiswa berkerumun. Beberapa melambai pada Tatiana, menyapa dalam bahasa Rusia yang hanya sebagian kecil bisa kupahami. Tatiana membalas dengan senyum ramah, lalu menarikku lebih dekat. Aku diposisikan seakan-akan benar-benar tunangannya. Wajah-wajah di sekitar kami tampak penasaran. Ada yang berbisik-bisik, ada pula yang menatapku dengan penuh tanda tanya.
"Dia dari mana?" tanya seorang temannya pada Tatiana.
Tatiana tersenyum samar. "Dari jauh," jawabnya singkat, lalu menatapku sekilas dengan tatapan penuh kode agar aku tetap diam.
Aku pun hanya tersenyum tipis, mencoba menundukkan kepala dengan gaya yang seolah penuh percaya diri. Namun, dalam hati aku gemetar.
Di dalam kelas, Tatiana duduk di barisan depan, sementara aku menunggu di luar ruang kuliah. Bangunan kampus itu tua, bau kapur tulis dan kayu lapuk tercium kental. Aku duduk di bangku lorong panjang, memperhatikan mahasiswa lain lalu-lalang. Beberapa berbisik sambil melirik ke arahku. Rasanya seperti menjadi bahan tontonan.
Sementara itu, pikiranku melayang. Di kehidupanku yang asli, aku hanyalah pria Asia biasa, penuh kegagalan cinta dan hidup seadanya. Namun di sini, aku berperan sebagai tunangan seorang gadis Rusia yang cantik, anak dari keluarga yang cukup terpandang. Rasanya seperti mimpi yang aneh. Antara keberuntungan dan jebakan.