Perlu aku tegaskan sekali lagi, namaku Iman. Iman dari kata 'Immanuel'. Nama itu konon berarti Allah beserta kita. Di Indonesia, aku seorang Kristen Protestan yang, harus aku akui, tidak begitu taat.
Hari minggu pagi ini, aku diajak keluarganya Igor untuk beribadah minggu. Meski Kaliningrad masih dikuasai oleh rezim Uni Soviet, gereja masih dibiarkan menjalankan aktivitasnya.
Gereja yang aku datangi adalah sebuah gereja bercorak Ortodoks. Kaliningrad adalah bagian dari Rusia. Banyak warganya berasal dari etnis Rusia, yang mayoritas dari mereka adalah penganut Ortodoks Rusia.
Sebelum mulai misa Ortodoks, Igor membawa aku dan Tatiana untuk menghampiri seseorang di sekretariat gereja. Terlibat obrolan serius antara Igor dan sahabatnya yang terlihat mengenakan pakaian seperti uskup saja. Nama sahabatnya Igor adalah Alexei.
"Kita samarkan pemuda Indonesia ini sebagai tunangannya Tatiana, Alexei," selanjutnya Igor membisikkan sesuatu ke telinga Alexei.
Alexei, pria paruh baya dengan janggut lebat yang sudah dipenuhi uban, menatapku dari ujung kepala hingga kaki. Sorot matanya tajam, seakan-akan menembus dinding dadaku. Aku merasa seperti sedang diinterogasi, meski tubuhku masih terbungkus mantel tebal pinjaman dari keluarga Igor.
“Tunangan Tatiana, katamu?” suara Alexei berat, bergema di ruangan kecil sekretariat itu.
Igor mengangguk mantap. “Ya, Alexei. Anak muda ini dari jauh, tidak banyak yang tahu asal-usulnya. Justru itu, kita bisa melindunginya. Kalau ada yang bertanya, biar aku yang menjawab. Dunia sekarang sedang kacau, Alexei. Kau tahu sendiri.”
Tatiana menimpali dengan suara tenang namun penuh keyakinan, “Papa, jangan khawatir. Aku bisa meyakinkan teman-temanku di kampus. Mereka tidak akan mencurigai Iman.”
Alexei menghela napas panjang. Ia lalu membuat tanda salib khas Ortodoks, menundukkan kepala, sebelum menoleh kepadaku lagi. “Kau sadar betul, Iman, apa artinya menjadi bagian dari keluarga ini. Dunia luar bukanlah tempat yang aman. Apalagi bila tentara Soviet mulai mencium ada sesuatu yang janggal.”
Aku menelan ludah. “Saya mengerti, Bapak Uskup.”
Kukatakan seperti itu, karena kusangka Alexei adalah seorang uskup Ortodoks.
Alexei tersenyum tipis. “Baiklah. Kalau begitu, mulai hari ini, kita sepakat. Kau adalah calon suami Tatiana. Dan kau akan ikut terdaftar dalam catatan gereja. Nanti aku akan bantu urus segala sesuatunya. Kau tenang saja, Igor. Dan, kau sudah melakukan hal penting sebagai kepala keluarga. Kurasa, itu penting, agar kau punya alasan kuat bila ada yang bertanya.”
Aku hanya bisa mengangguk, meski di dalam hati berkecamuk rasa takut bercampur harapan.
Misa Ortodoks segera dimulai. Gereja itu tampak megah sekaligus angker, dengan ikon-ikon kudus menghiasi dindingnya, lampu gantung berkilauan, serta bau dupa yang pekat memenuhi ruangan. Aku tidak terbiasa dengan tata ibadah semacam ini. Gerakan bersilang di dada, cium tangan ikon, nyanyian liturgi yang panjang. Semuanya asing bagiku.