Jadi, begini. Begini yang terjadi hari ini. Aku juga tidak tahu kenapa Tatiana tetap memaksa untuk tidur sekamar dan seranjang dengan aku. Padahal orang-orang pemerintah Uni Soviet sudah tak ada di rumah keluarga Smirnov malam ini.
Oh iya, tadi siang, ada beberapa orang datang. Mereka mengaku perwakilan dari pemerintah Uni Soviet. Sebagai adalah tentara. Mereka menginterogasi keluarga ini--yang termasuk aku sendiri. Rumah digeledah. Penggeledahan dan interogasi berjalan hampir selama enam jam. Gara-gara itu, aku mulai mengerti perasaan dari orang-orang yang dituduh berhaluan komunis di Indonesia era Orde Lama.
Oke, oke, singkat cerita, mereka beropini, dan anggap saja begitu, aku dan Tatiana harus tidur sekamar. Pernikahan kami harus dilangsungkan secepat mungkin di bulan Oktober ini.
Begitulah.
Aku bingung saja. Padahal sudah tak ada pengawasan, mereka sudah pulang, kenapa Tatiana harus tidur di samping aku?
Ini kali pertama aku tidur seranjang dengan perempuan. Perempuan itu mana cantik pula. Tanpa sadar ada yang berdenyut-denyut. Oh, maaf, alat kemaluan aku mendadak berdiri, dan...
Ah, sudahlah. Aku coba mengalihkan pikiran ke hal-hal lainnya. Sekonyong-konyong aku teringat dengan Abdoul di Palestina. Semoga dia baik-baik saja.
Punggung aku dicolek. Aku langsung menoleh ke arah Tatiana.
"Kau belum tidur?" tanya Tatiana tersenyum. "Aku minta maaf atas permintaan aku yang aneh-aneh. Sejujurnya..."
Tarian terbatuk-batuk.
Sementara aku terkekeh-kekeh dan garuk-garuk kepala.
"--aku ingin sekali merasakan... yah, kau tahu sendiri maksud aku, Iman."
Aku angguk-angguk kepala. "Heh... tapi aku jadi tidak nyaman, Tatiana. Lagi pula, aku dan kamu... kita belum menikah secara resmi. Masih tunangan, kan?"
"Kau benar. Kalau kau mau, aku pindah saja ke kamarku."
Entah kenapa aku gelagapan. Seolah aku tidak mau kehilangan momentum. Aku panik dan berkata, "J-jangan, Tatiana... kau di sini saja..."
Tatiana tertawa. "Hahaha... kau lucu, Iman. Aku makin menyukai kamu. Oke, aku di sini menemanimu."
Aku dan Tatiana saling bertukar pandang. Lama sekali. Jantung aku berdetak-detak kencang. Apa situasi malam pertama itu seperti ini?
Tatiana memecah kebuntuan di antara kami. "Tadi kamu berpikir apa? Kamu kadang lucu, kadang serius. Mungkin karena itulah aku menyukaimu, Iman. Kamu sungguh berbeda dari laki-laki yang aku kenal di Kaliningrad ini."
Aku terkekeh. "A-aku hanya... aku hanya terpikirkan tentang pernikahan kita nanti."
Sebenarnya aku berbohong. Tatiana pasti akan memandangku aneh jika aku katakan aku sebelumnya pernah berada di tempat dan waktu yang berbeda. Para wibu di zaman aku bilang, aku sedang ber-isekai.
Tatiana mendesah. "Sama, aku juga."
Selanjutnya Tatiana mendesah pelan, dan menarik selimut hingga menutupi setengah wajahnya. Matanya yang biru pucat masih menatapku di sela-sela kain. Dalam tatapan itu aku melihat campuran rasa takut, rindu, dan kehangatan yang tak terdefinisikan. Ruangan ini mendadak terasa sempit, padahal kamar di rumah keluarga Smirnov cukup besar. Bisa kulihat samar-samar dalam kegelapan remang-remang, ada lemari kayu jati, jendela lebar yang tirainya bergoyang ditiup angin malam, dan lampu minyak kecil di atas meja kayu yang menjadi saksi kebisuan kami malam ini.
Aku berdeham pelan, mencoba memecah keheningan.