Aku berdiri terpaku, mencoba memahami keadaan yang tiba-tiba berubah drastis. Barusan aku masih berada di samping Tatiana, merasakan detak jantung yang sama-sama bergejolak di rumah keluarga Smirnov, Kaliningrad. Kini, entah bagaimana, aku berdiri di tanah berlumpur, udara panas menyengat, dan aroma keringat bercampur darah seakan menampar inderaku.
Di sekelilingku, puluhan orang berkulit sawo matang, wajahnya tirus, tubuhnya kurus kering. Mereka berbahasa Jawa, bercampur sedikit bahasa Melayu yang kusadari mirip dengan bahasa Indonesia. Mereka mengaku sebagai romusha. Semacam buruh kerja paksa yang diperintah tentara Jepang untuk membangun jalan dan jembatan di hutan Vietnam ini.
“Mas, sampeyan pekerja baru?” salah seorang pemuda dengan rambut awut-awutan mendekat padaku. Tubuhnya penuh luka cambuk yang masih basah.
“I-iya,” jawabku gagap. Lidahku kelu, tapi entah bagaimana aku bisa mengerti bahasanya. Sama seperti saat pertama berada di Palestina, lalu di Rusia. Bahasa bagiku kini seperti aliran air. Langsung aku paham, meski tidak pernah belajar sebelumnya.
“Aku Ilyas,” katanya memperkenalkan diri, “nama sampeyan siapa?”
“Iman,” jawabku pelan.
Karno mengangguk. “Iman, nama yang bagus. Iman artinya keyakinan. Semoga imanmu yang kuat bisa bikin sampeyan bertahan di sini.” Ia tersenyum tipis, lalu batuk keras, mengeluarkan darah segar. Aku sontak ingin menolong, tapi tanganku hanya bisa menepuk punggungnya tanpa tahu harus berbuat apa.
Tiba-tiba terdengar teriakan. “Hayaku! Hayaku!” Para serdadu Jepang datang, menenteng senapan dan cambuk kulit. Semua pekerja langsung menunduk, tak berani menatap mata mereka. Aku ikut-ikutan menunduk, meski jantungku berdegup kencang.
Seorang serdadu berwajah bengis menudingku dengan bayonet. Ia mengoceh cepat dalam bahasa Jepang, dan aku entah kenapa paham artinya: “Kau, anak baru! Kerja lebih cepat, atau mati!”
Aku terdiam. Keringat dingin membasahi pelipisku.
Ilyas menepuk bahuku, lalu berbisik, “Ikuti saja dulu. Kalau melawan, kita habis.”
Hari itu, aku dipaksa mengangkut batu-batu besar dari sungai ke tepi jalan setapak. Panas terik, tubuhku yang terbiasa tidur malas di kasur empuk dan menghabiskan martabak dua loyang kini dipaksa bekerja sampai rasanya punggung mau patah. Baru beberapa jam, tanganku penuh lecet dan berdarah.
Di sekelilingku, jeritan samar terdengar. Ada yang dipukul karena dianggap lamban. Pun ada yang roboh karena kelelahan lalu ditendang seperti binatang.
Satu hal yang membuatku tercekat. Itu adalah saat di wajah-wajah para romusha ini, kulihat sekilas sosok-sosok yang mirip teman-temanku di masa kini. Ada yang mirip tetangga komplek, ada yang mirip kawan kuliah, bahkan ada yang mirip dosenku dulu. Bedanya, mereka semua di sini kurus kering, tanpa daya, dan hanya menunggu ajal.
Menjelang sore, aku dan Ilyas sempat duduk sebentar di bawah pohon. Napasku terengah-engah.
“Ilyas,” tanyaku dengan suara parau, “kenapa kalian tidak kabur saja?”
Karno tersenyum getir. “Kabur ke mana, Mas Iman? Hutan ini luas. Kalau ndak mati dimakan binatang, yo, mati ditangkap tentara Jepang. Hidup kami hanya antara kerja, lapar, dan mati. Ndak ada pilihan apa-apa.”
Aku tercekat. Begitu nelangsanya nasib mereka. Aku yang di masa asliku sering mengeluh sebagai beban keluarga, kini merasa kecil sekali dibanding penderitaan para romusha.