Pukul 23.15 waktu Kaliningrad.
Lagi-lagi Tatiana tidur di dalam kamarku. Kali ini ada alasannya. Ada temannya Igor datang, dan laki-laki tua itu bernama Yevgeni. Yevgeni ini mengaku bekerja di salah satu departemen pemerintah Uni Soviet. Aku lupa-lupa ingat. Antara Departemen Pertahanan dan Departemen Luar Negeri. Salah satu dari kedua departemen tersebut.
Makanya, untuk menghindari kecurigaan Yevgeni yang bisa saja mata-mata pemerintah Uni Soviet, Tatiana dibiarkan tidur di kamarku.
Aku bingung, kenapa harus begitu. Padahal sejak awal sandiwaranya itu bertunangan. Laki-laki dan perempuan yang bertunangan itu, menurut aku, belum diperbolehkan untuk satu ranjang, apalagi satu ruangan. Di Islam, itu dilarang, tidur sekamar dengan yang bukan mahram juga.
Aku sih sebetulnya senang-senang saja. Aku yang dulu, saat masih di Tangerang, Indonesia, seorang jomlo ngenes dan beban keluarga, sekarang ini, di Kaliningrad, aku harus bertunangan dengan perempuan cantik yang berambut pirang dan, maaf, berdada cukup sekal. Bahkan aku dan dia akan merencanakan pernikahan.
Waduh, betapa bahagianya hatiku saat ini. Semoga aku selamanya berada di Kaliningrad.
Aku duduk di atas bangku. Tatiana duduk di atas tempat tidur.
"Iman," kata Tatiana memecah keheningan. "Boleh aku bertanya?"
"T-tanya apa?" tanyaku balik gugup.
"Di Indonesia sana, bagaimana dengan kehidupan di sana? Tidak salah, kan, laki-laki dan perempuan yang sudah bertunangan berada dalam satu ruangan, yang menurut tradisi di sana?"
Aku menelan ludah. Pertanyaan Tatiana sederhana, tapi terasa berat. Aku mengusap tengkuk leherku, lalu menatapnya sebentar sebelum akhirnya menjawab.
“Di Indonesia... itu tergantung, Tatiana,” kataku pelan. “Kalau menurut agama, apalagi Islam, jelas dilarang. Bahkan di Kristen pun, banyak yang tidak setuju. Tunangan itu belum sah. Belum ada ikatan resmi. Jadi, biasanya, jika kita tinggal di Indonesia, sudah sepatutnya kita memberikan jarak. Di negara asalku, tinggal bersama sebelum menikah, itu masih tabu.”
Tatiana mengangguk, matanya memandang lurus ke arahku. Ada keingintahuan bercampur rasa bersalah di sana. “Lalu... apa yang kita lakukan ini, salah?”
Aku terdiam. Hening sejenak. Jujur, aku sendiri tidak tahu bagaimana harus menjawab. “Kalau menurut norma di tempatku, mungkin iya. Tapi di sini, di Rusia, semua ini demi keselamatan kita. Demi menghindari kecurigaan. Jadi, aku rasa... Tuhan akan mengerti.”
Tatiana menunduk. Ia memegang ujung dasternya, memainkan lipatannya. “Kau selalu menyebut nama Tuhan, Iman. Seolah semua yang kita lakukan bisa dipahami oleh Dia yang ada di atas sana. Padahal terkadang aku masih belum yakin Tuhan itu ada."
Aku menarik napas panjang. Agak kaget juga mendengar jawaban Tatiana tadi. Padahal Tatiana cukup sering menemani Igor dan Irina beribadah minggu. Sebagai balasan atas kata-katanya, aku berkata, “Karena aku percaya, Tatiana. Kalau tidak, aku pasti sudah gila sejak lama. Bayangkan, aku ini orang asing, tiba-tiba berada di duniamu. Lalu harus berpura-pura jadi tunanganmu. Kalau bukan karena keyakinan bahwa Tuhan ikut campur tangan, aku tidak tahu harus bagaimana.”