Aku terengah-engah. Tadi aku bermimpi sedang berada di Nepal. Di sana, sedang terjadi kekisruhan. Situasi politik di Nepal sedang kacau sekali. Saking kacaunya, masyarakat Nepal berani memberikan semacam hukuman kepada salah seorang menteri di sebuah sungai.
Sebentar aku melihat jam yang tergantung di dinding kamar. Sudah pukul 04.23. Sekonyong-konyong terdengar suara kencang dari balik pintu kamar. Itu suara Irina, ibunya Tatiana, yang mana aku dan Tatiana sedang bersiap untuk menikah.
"Iman, kamu baik-baik saja? Ayo, bangun. Sebentar lagi kamu akan menemani calon istrimu ke kampus."
Mendengar kata 'calon istri', kedua pipiku memerah. Dari luar kamar, terdengar suara Tatiana yang sepertinya merajuk ke Iriana.
Aku balik berseru ke arah Iriana, "Aku baik-baik saja. Oke, aku akan ke bawah."
Sebetulnya aku tidak sedang baik-baik saja. Dengan mimpi semengerikan itu, yang mana aku bersama Rohit sedang berdemonstrasi di jalan-jalan Nepal, apa yang baik-baik saja?
Sungguh pagi ini terasa berbeda. Mungkin karena aku baru saja terbangun dari mimpi yang begitu nyata, mimpi yang seolah-olah menempelkan luka sejarah ke dalam ingatanku. Aku masih bisa mendengar suara Rohit yang berteriak, masih bisa merasakan panas terik di jalanan Kathmandu, dan bau asap ban terbakar yang menusuk hidungku. Rasanya begitu jelas, padahal aku hanya bermimpi.
Aku menarik napas panjang, berusaha menenangkan diriku. Tatiana sudah bersiap di bawah, sepertinya dengan dandanan khas mahasiswi. Ia mengenakan kemeja sederhana, rok panjang, dan syal yang dililitkan di lehernya. Meski sederhana, tetap saja auranya menawan.
Aku turun ke bawah, dan mendapati Igor sedang duduk sambil membaca koran Pravda. Ia melirikku sebentar, lalu tersenyum tipis. “Selamat pagi, calon pengantin,” katanya dengan suara agak serak.
Aku hanya bisa menanggapi dengan anggukan kikuk. Kata calon pengantin itu seperti sebuah mantra yang mengikat sekaligus menakutkan. Di satu sisi, hatiku melambung karena Tatiana memang perempuan yang nyaris sempurna di mataku. Di sisi lain, aku sadar ini semua dimulai sebagai sandiwara demi mengelabui pemerintah Soviet.
Iriana menepuk bahuku sambil tersenyum hangat. “Kamu terlihat pucat, Iman. Baru saja mimpi buruk?” tanyanya dengan nada penuh perhatian.
Aku mengangguk pelan. “Iya, bisa dibilang begitu.”
“Jangan terlalu dipikirkan,” katanya sambil berlalu ke dapur. "Mimpi hanyalah mimpi. Hanya pemanis saat kita tidur."
Kalimat itu menenangkan sekaligus menohok. Bagaimana mungkin aku menganggapnya sekadar mimpi, kalau rasanya begitu nyata, seakan aku benar-benar ada di sana? Aku tidak tahu apakah aku sedang diberi tanda, atau sekadar otakku yang lelah.
Tatiana mendekat, membawa dua buah tas: satu tasnya sendiri, satu lagi untukku. Ia menatapku lama, lalu berbisik, “Aku bisa lihat dari wajahmu, kau sepertinya terguncang. Tapi kita tidak bisa terlambat ke kampus. Ayo, berangkat, Iman. Nanti cerita selengkapnya ke aku."
Perjalanan menuju kampus ditempuh dengan trem. Kaliningrad pagi itu diselimuti kabut tipis. Gedung-gedung tua bergaya Soviet tampak dingin dan kaku, seperti menyimpan seribu rahasia.
Di trem, Tatiana duduk di sampingku. Tangannya meraih tanganku, sebuah gestur kecil yang membuat jantungku berdetak lebih cepat. Aku menatapnya, ingin bicara soal mimpiku, tapi aku urung. Aku khawatir ia akan menganggapku aneh, atau lebih buruk, mengira aku berhalusinasi.
Sebagai gantinya, aku bertanya, “Apa kau pernah mimpi aneh, Tatiana? Mimpi yang terasa nyata, sampai kau bingung membedakan dengan kenyataan?”
Ia menoleh, matanya yang biru itu menelusuk jauh ke dalam diriku. “Pernah. Beberapa kali. Tapi biasanya aku simpan sendiri. Kenapa? Kau bermimpi lagi, yang seperti biasanya?”