Aku tak begitu ingat bagaimana persisnya terjadi. Samar-samar yang aku ingat, beberapa jam yang lalu, aku masih di rumah Igor. Igor dan Irina sedang pergi. Mereka bilang ada acara rohani di gereja. Vladimir juga belum pulang. Tinggal aku dan Tatiana berada di rumah. Tiba-tiba saja Tatiana bertingkah yang tak wajar. Aku membuka kulkas dan mengeluarkan sebotol vodka milik Igor. Tatiana mengajak Iman minum beberapa gelas. Alhasil mereka mabuk, dan seingat aku, aku dan Tatiana melakukan hubungan badan. Di tengah-tengah itu, sesuatu terjadi.
Sesuatu itu adalah, well, aku mendadak merasa dirinya pindah tempat. Orang Yahudi bernama Solomon tadi berkata kepada Iman bahwa aku sedang berada di ibukota Israel. Sekarang aku sedang berada di rumah Solomon Glazer, seorang Yahudi yang cukup taat. Rumah Solomon kosong. Hanya ada Solomon dan Iman di dalamnya.
Solomon menuangkan anggur ke dalam gelas. "Maaf, hanya ada ini. Dan, tenang saja, aku percaya dengan ceritamu. Orang-orang mungkin bisa berkata itu dongeng gila. Tapi aku tidak, Iman. Bahkan, saat masih kecil, Mommy sering bercerita aku sering ditemukan hilang. Atau, pernah aku koma, dan Mommy, aku meracau sedang di Kuba."
Aku menatap wajah Solomon Glazer dengan pandangan kosong. Lelaki tua itu tampak tenang, mengenakan kemeja putih gading dan rompi wol abu-abu. Rambutnya sebagian sudah memutih, tetapi matanya masih menyala seperti bara kecil yang tak mau padam. Ruangan di mana mereka duduk dipenuhi buku-buku tebal berbahasa Ibrani dan Inggris, serta aroma lilin madu yang terbakar di atas meja kayu antik.
“Jadi... kamu percaya aku, kan?” tanya aku dengan suara nyaris bergetar.
Solomon tersenyum samar. “Aku percaya bukan karena kau meyakinkanku, Iman. Aku percaya karena aku tahu, beberapa dari kita memang tidak seharusnya hidup hanya di satu dunia. Kadang Tuhan membawa seseorang untuk menyaksikan sesuatu. Untuk mengingat sekaligus menceritakan banyak pekerjaan tangan Tuhan yang misterius.”
Aku memejamkan mata. Suara denting jam dinding mengiringi percakapan mereka. Aku masih ingat jelas tangan Tatiana yang memeluknya tadi, bagaimana kulit mereka saling bersentuhan, dan kemudian... mendadak gelap. Lalu ada cahaya, dan kini ia di Yerusalem, entah bagaimana caranya.
Solomon duduk di hadapannya, menuangkan kembali anggur merah ke gelas. “Kamu tahu, Iman, di dalam kitab kami, ada kisah tentang Henokh. Ia berjalan bersama Tuhan, lalu hilang. Tidak mati, tidak juga hidup. Barangkali kamu serupa dengan dia, yang menurut aku, dia itu semacam pengembara di antara ruang dan waktu.”
Aku tertawa getir. “Henokh adalah orang suci. Sementara aku bahkan tidak tahu apa yang kulakukan di sini. A-aku hanya seorang pengangguran di Tangerang, yang entah kenapa bisa berpindah-pindah dari satu zaman ke zaman lain. Aku bukan siapa-siapa, Solomon.”
“Tidak ada yang benar-benar bukan siapa-siapa,” sahut Solomon pelan. “Kamu tidak datang tanpa alasan.”
Kami berdua terdiam. Di luar, suara angin malam Yerusalem berdesir halus. Dari jendela, Iman bisa melihat menara Masjid Al-Aqsa menjulang di kejauhan, bersebelahan dengan kubah emas yang berkilau diterpa cahaya lampu kota.
Solomon menatap ke arah pemandangan itu. “Kamu berada di tempat yang paling sering diperebutkan di dunia, Iman. Setiap batu di tanah ini menyimpan darah, doa, dan air mata. Mungkin di sinilah kamu akan mengerti sesuatu.”
Aku menelan ludah. “Sesuatu apa?”
Solomon berdiri, berjalan perlahan menuju rak buku di belakangnya. Ia menarik keluar satu kitab tua berdebu, lalu menyerahkannya kepada Iman. Tulisan di sampulnya berbahasa Ibrani.
“Ini salinan lama dari Sefer HaZohar,” katanya. “Kitab mistik Yahudi. Salah satu babnya berbicara tentang jiwa yang tersesat, yang dikutuk untuk berpindah-pindah sampai ia menemukan makna dari keberadaannya.”
Aku menatap kitab itu, lalu menatap Solomon. “Jadi... kamu pikir aku jiwa yang tersesat?”