Isekai Everywhere

Nuel Lubis
Chapter #12

Pelukan Hangat dari Tatiana

Begitu membuka pintu, Tatiana kaget bukan kepalang. Meski ada kedua orang tua dan adiknya, Tatiana tak peduli. Ia main peluk aku, laki-laki berdarah Batak, yang akhirnya muncul lagi di hadapan matanya. Tak peduli Igor berdeham, Tatiana tak malu untuk menunjukkan rasa sayangnya ke aku dengan cara mengecup bibirku. Begitu bahagianya Tatiana saat aku akhirnya kembali ke sini.

Malam di Kaliningrad berubah hangat. Langit yang semula kelabu kini berpendar jingga keemasan, seperti ikut menertawakan rasa rindu yang akhirnya menemukan rumahnya. Tatiana masih memelukku erat, seolah takut kalau ini hanyalah mimpi lagi. Tubuhnya gemetar, bukan karena dingin, tapi karena bahagia yang menekan dadanya terlalu kuat.

“Tatiana… aku sungguh kembali,” bisik aku, dengan suara serak yang bergetar.

Tatiana menarik napas panjang, menatap wajah Iman yang kini sedikit berbeda. Di mata Tatiana, wajahku lebih matang dan teduh. Ada sesuatu di matanya yang tidak sama seperti dulu. Mungkin karena semua perjalanan anehnya, berpindah dari masa ke masa, menembus sejarah dan batas realitas. Namun bagi Tatiana, laki-laki di depannya tetaplah aku yang mungkin ia cintai.

Irina menatap adegan itu dari kursi ruang tamu. Igor berdiri di sampingnya, berdeham beberapa kali, mencoba menegakkan wibawa ayah rumah ini. “Tatiana, mungkin kau ingin melepas mantel dulu sebelum mencium orang di depan umum,” katanya dengan nada setengah bercanda.

Tatiana menoleh cepat. “Papa, aku tidak peduli. Aku pikir dia tak akan kembali lagi.”

Lalu matanya berkaca-kaca lagi.

Aku tersenyum kecil, melirik ke arah Igor dan Irina. “Maafkan aku, Pak Igor, Bu Irina. Aku tidak bermaksud menimbulkan kehebohan. Aku hanya—”

Irina langsung berdiri dan memelukku. “Tidak apa-apa, Iman. Kami pun kaget. Kami pikir kau telah hilang.”

Aku terdiam. Kata hilang itu menohoknya. Aku memang hilang. Hilang dalam arti sesungguhnya. Dalam hitungan orang-orang Kaliningrad, aku mungkin pergi berbulan-bulan tanpa kabar. Namun bagiku, waktu itu terasa hanya seminggu. Atau bahkan kurang. Aku tidak tahu berapa lama aku benar-benar lenyap dari dunia Tatiana.

Setelah keharuan itu mereda sedikit, mereka semua duduk di ruang makan. Vladimir datang belakangan, wajahnya penuh rasa ingin tahu. “Kau ini sebenarnya siapa, Iman? Mata-mata? Ilmuwan? Atau malaikat yang suka hilang muncul sesuka hati?”

Aku terkekeh, “Entahlah. Kalau aku malaikat, aku pasti tak separah ini bingungnya.”

Tatiana menatapku lama, “Kau akan tetap di sini, kan? Tidak pergi lagi seperti dulu?”

Pertanyaan itu seperti pisau yang menancap lembut di dadaku. Aku ingin menjawab ya, ingin mengatakan bahwa ia akan menetap, bahwa tidak ada lagi dunia lain yang bisa memanggilnya. Namun hatiku terkesan ragu. Setiap kali aku merasa tenang, selalu ada sesuatu yang menariknya ke tempat lain. Entah itu masa lalu, masa depan, atau dimensi yang entah dari mana datangnya.

“Aku akan berusaha,” jawabnya akhirnya, pelan.

Tatiana menggenggam tanganku di bawah meja. “Aku tidak butuh jaminan, Iman. Aku hanya ingin kau mencoba.”

Malam semakin larut. Igor dan Irina sudah naik ke kamar, sementara Vladimir masih sibuk di ruang tamu dengan radio tuanya. Tatiana dan aku duduk di balkon belakang rumah, di mana udara dingin menampar lembut wajah kami berdua.

Tatiana mengenakan sweter abu-abu dan membungkus diri dengan selimut bulu. Aku duduk di sebelahnya, menatap langit.

Lihat selengkapnya