Kali ini aku diajak Tatiana ke sebuah gereja. Gereja yang aku datangi adalah gereja bercorak Ortodoks Rusia. Di hadapanku, ada beberapa gambar ikon orang-orang kudus menurur keyakinan Ortodoks.
Hari ini ini bukan hari minggu, melainkan hari senin. Cuacanya cerah. Jam menunjukkan pukul 10.12 pagi hari.
Karena Igor memiliki jabatan cukup bagus dalam gereja, tak heran Tatiana bisa mengajakku ke dalam aula gereja saat bukan hari minggu.
Aku duduk bersama Tatiana. Jantungku berdebar-debar. Sekonyong-konyong aku terbayang kejadian malam itu. Untuk kali pertama aku melakukan hubungan ala pasangan suami istri. Sontak itu membuat alat kemaluannku tegang. Salivaku tertelan secara tak sengaja.
Ternyata Tatiana juga berdebar-debar. Napasnya agak terengah-engah sebelum berkata, "Iman... w-waktu itu, maaf."
"T-tidak apa-apa Tatiana," Aku menarik napas. "Kalau di Indonesia, ada semacam ungkapan, dan aku tidak tahu di sini disebutnya apa. Mereka kadang suka bilang, 'Hati-hati jangan berdua-duaan, nanti ketiganya setan'. Kurang lebih seperti itu. Aku tidak tahu apakah di Rusia, ada semacam itu?"
Tatiana tertawa terbahak-bahak.
Aku ikut terbahak-bahak.
"Orang-orang Indonesia lucu-lucu, Iman."
Tatiana masih terkekeh, sambil menatapku yang wajahnya memerah menahan malu.
“Lucu tapi benar,” katanya sambil menepuk lembut pundakku. “Aku jadi membayangkan... bagaimana cara orang Indonesia menjaga diri dari..." Tatiana berdeham. ".. godaan?”
Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal. “Ya, tergantung siapa orangnya, Tatiana. Ada yang benar-benar menjaga, ada juga yang cuma ngomong tapi kelakuannya beda. Aku mungkin yang jenis kedua.”
Tatiana memiringkan kepala. “Yang kedua? Artinya kamu... menyesal?”
Aku terdiam. Pandanganku jatuh ke lantai kayu gereja yang berdecit halus tiap kali angin menerpa jendela kaca patri. Sinar matahari yang menembus kaca warna-warni itu membentuk mozaik cahaya di wajah Tatiana. Itu terlihat begitu damai, tapi juga misterius.
“Aku bukan menyesal, Tatiana,” kataku pelan. “Tapi aku merasa aneh. Seolah-olah setiap kali aku berbuat sesuatu, dunia baru sedang menilai aku. Dunia yang bukan tempat asliku.”
Tatiana mengerutkan kening. “Kamu masih bicara tentang dunia lain-mu itu, yah? Dunia di mana kamu berasal.”
“Ya,” jawabku. “Di dunia itu, aku hanya penulis tak begitu terkenal, yang bukan siapa-siapa, yang kadang beberapa penulis senior meledekiku. Tidak ada Tatiana di sana, tidak ada Kaliningrad, tidak ada vodka, tidak ada tentara Soviet juga. Tapi entah kenapa semuanya terasa lebih nyata di sini. Bahkan lebih nyata dari mimpi.”
Tatiana menarik napas panjang, menatap salib di ujung aula. “Kalau begitu, mungkin kamu memang dikirim ke sini untuk suatu alasan.”