Isekai Everywhere

Nuel Lubis
Chapter #14

Obrolan dengan Solomon Glazer

Kali ini aku berada di Tel Aviv. Tel Aviv tahun 2025. Tahun yang sama dengan tahun Iman berasal, yaitu Tangerang tahun 2025.

Aku berada di apartemen keluarga Glazer. Ternyata selama ini Solomon tinggal di apartemen, dan anak ketiga dari empat bersaudara. Sama seperti aku, yang anak ketiga dari empat bersaudara. Yang membedakan dari aku sendiri, Solomon hidup bersama tiga saudara kandung yang kesemuanya berjenis kelamin laki-laki, dan kesemuanya menyebalkan, dan kesemuanya bertemperamen cukup keras. Hanya Solomon yang pendiam dan cukup kalem pembawaannya. Yang dibilang pendiam, tidak juga. Lebih tepatnya, penyendiri. Karena sifat penyendiri itu, Solomon mengetahui beberapa hal yang tak banyak orang ketahui.

Aku menyesap anggur yang Solomon tawarkan. Baru kali pertama ini, aku minum anggur beralkohol.

"Panggil saja aku Sally," ujar Solomon ikut minum anggur. "Aku tak menyangka kita sama-sama kelahiran tahun 1988."

Aku hanya terkekeh.

Solomon berkata lagi, "Jangan takut, Iman. Aku pernah tahu istilah ini, entah dari mana, yang--kalau jodoh pasti bertemu. Jika perempuan Rusia itu memang jodohmu, Yahweh pasti mempertemukan lagi. Seharusnya kau merasa beruntung. Mungkin ini caranya Yahweh menyelamatkan kau dari masalah-masalah pelik yang akan terjadi di Kaliningrad itu."

Aku menarik napas. "Tapi aku merasa..."

"Kau tidak benar-benar mencintai Tatiana itu, kan?"

Aku malu-malu mengakuinya, "Se-sedikit, Sally. Tapi--"

Solomon memotong, "Daripada kau keburu dinikahkan, dinikahkan dengan kondisi dirimu yang pindah-pindah terus, bagaimana?"

Aku menatap wajah Solomon yang teduh di bawah cahaya lampu gantung apartemen. Warna temaram kuning menimpa dinding bata putih yang sebagian mulai mengelupas. Di luar, Tel Aviv berdenyut. Lalu lintas padat, suara mobil, dan tawa orang-orang dari kafe bawah apartemen menjadi latar yang tak henti-henti.

Solomon menyandarkan diri pada kursi kayu yang punggungnya miring. Ia menatapku dengan tatapan tenang, tapi tajam. Aku menghela napas lagi. Ada sesuatu dalam caranya menatap, seolah-olah Solomon sedang menelusuri isi kepala dan isi hatinya.

“Aku tahu wajah orang yang menanggung beban,” ujar Solomon perlahan. “Kau seperti seseorang yang ingin kembali, tapi tidak tahu ke mana harus pulang.”

Aku diam. Kata-kata itu menampar halus. Aku spontanmenunduk, menatap cairan merah tua dalam gelas anggurnya yang berputar pelan.

“Aku… hanya ingin kembali ke Tangerang,” kataku lirih. “Tapi setiap aku tidur, setiap aku merasa dekat dengan seseorang, aku malah berpindah tempat. Seolah dunia sedang bermain-main denganku.”

Solomon meneguk anggurnya pelan, lalu mengangguk. “Mungkin bukan dunia yang bermain-main. Mungkin Tuhan ingin kau melihat sesuatu. Tentang manusia. Tentang dirimu sendiri.”

Ucapan itu membuat aku tertegun. Ada semacam kilatan di mata Solomon yang seolah tahu lebih dari yang ia katakan.

“Aku tahu apa yang kau pikirkan,” lanjut Solomon, “Pasti tentang Tatiana. Kau mencintainya, tapi tidak benar-benar mencintai. Kau hanya merasa nyaman. Karena ia sudah memberimu ruang di dunia yang benar-benar asing untuk kau.”

Aku mencoba tersenyum getir. “Mungkin begitu. Tapi bukankah itu juga cinta, Sally? Rasa nyaman itu?”

Lihat selengkapnya