Malamnya, di sekitar jam sepuluh malam, Solomon iseng membawa aku ke sebuah klub malam. Marco Sing ikut pula. Malah kami masuk dengan guest list dari Marco. Kami bertiga lalu duduk di room yang menurutku, cukup privat. Saking privat, di room ini, sangat cocok jika kami membicarakan topik tadi siang, yang mana kami berbicara tentang aksi boikot.
"Kau punya pacar, Iman?" tanya Marco menyesap minuman beralkoholnya.
Malah Solomon yang menjawab, "Malah dia akan menikah, Marco. Dengan seorang gadis Rusia. Bernama Tatiana. Tapi, Iman malah kabur ke Tel Aviv."
Aku tak menjawab dan malah tertawa terbahak-bahak. Aku minum dengan hati-hati minuman alkohol ini. Rasanya membuat aku mual. Mungkin karena sebelumnya aku bukan peminum.
Aku bersyukur Solomon tak berkata apa-apa tentang perjalanan waktuku. Tak setiap orang bisa mempercayai kisah-kisah seperti itu. Bahkan, sekonyong-konyong aku teringat dengan kata-kata teman bloger aku yang tinggal di Belanda. Suaminya pernah bercerita bahwa kisah Daud melawan Goliat itu hanyalah dongeng Yahudi. Tak benar-benar hidup seseorang bernama Goliat tersebut.
"Kelihatannya temanmu itu benar-benar kaya," Marco menyesap minumannya lagi.
Di tengah-tengah itu, tiga orang perempuan mendekati aku dan teman-teman aku. Mereka cantik-cantik. Berparas Kaukasoid. Bahkan salah satu dari mereka mengingatkan aku dengan Tatiana yang cukup aku cintai.
Mereka bertiga mendekat dengan langkah anggun, diiringi aroma parfum mahal yang menusuk hidung. Musik techno berdentum pelan, lampu-lampu neon menari di antara kabut asap rokok yang menggantung di udara. Solomon tersenyum tipis, seolah sudah terbiasa dengan pemandangan seperti itu. Marco malah langsung berdiri dan melambaikan tangan pada mereka.
“Iman, ini teman-temanku,” ujar Marco bangga. “Yang di tengah namanya Eliza, di sebelah kanan Sophie, dan yang di kiri Natalya.”
Aku mengangguk gugup. “Hai...”
Eliza, yang berdiri paling dekat denganku, tersenyum dengan cara yang membuat jantungku berdetak sedikit lebih cepat. Matanya biru muda seperti danau di musim dingin. Ia duduk di sebelahku tanpa banyak bicara, tapi tangannya langsung mengambil gelas di depanku dan menyesap sedikit dari minuman yang sama.
“Kau dari mana?” tanya Eliza pelan dengan aksen yang terdengar Eropa Timur.
“Indonesia,” jawabku singkat.
Matanya membulat. “Oh, jauh sekali. Setahuku, itu negara tropis. Dan, negara bagiannya yang bernama Bali, aku pernah ke sana, dan sangat menakjubkan. Omong-omong, kau tampak tidak seperti orang yang biasa datang ke sini.”
Aku tertawa canggung. “Ya, aku hanya… kebetulan ikut teman. Ikut dia.”
Aku menunjuk ke arah Solomon. Solomon sepertinya sudah terbiasa bergaul dengan perempuan-perempuan seperti mereka bertiga ini.
Sementara itu, Solomon dan Marco sudah asyik mengobrol dengan dua perempuan lain. Aku memperhatikan Solomon. Ia tampak selalu tenang, bahkan dalam suasana seperti ini. Matanya sesekali menatap ke arah pintu masuk, seolah sedang mengawasi sesuatu. Aku baru sadar, bahkan di tempat sekacau ini, Solomon masih punya kewaspadaan khas orang yang tahu dirinya bisa diawasi.
“Eliza,” panggil Solomon kemudian, “kau dari mana?”
Eliza tersenyum tipis. “Haifa. Aku model paruh waktu.”
Marco bersiul kecil, “Wajar saja cantik begitu. Iman, kau beruntung malam ini.”
Aku hanya tersenyum kikuk, tidak menanggapi. Namun Eliza malah tertawa pelan, lalu menyandarkan kepalanya di pundakku. Aku bisa merasakan kehangatan tubuhnya, aroma parfumnya yang lembut bercampur alkohol, dan di antara suara musik yang menggema, aku sempat berpikir tentang Tatiana.