Sekitar jam empat pagi tadi, itu sungguh membuat aku bingung. Yang aku ingat, jam-jam sebelum aku terbangun, aku masih di klub malam yang ada di Tel Aviv. Sekaligus mabuk-mabukan bersama Solomon, Marco, dan tiga teman perempuan Marco. Salah satunya adalah Eliza yang mengaku model paruh waktu yang berdomisili di Haifa. Selanjutnya, aku berakhir di atas tempat tidur bersama Eliza. Aku dan dia sama-sama bertelanjang tubuh. Hanya mengenakan selimut. Selang beberapa menit kemudian, Eliza menjelaskan bahwa Marco yang mengantarkan mereka ke apartemennya Eliza yang cukup dekat dari klub malam tersebut. Eliza pun meminta maaf atas kejadian yang kurang menyenangkan. Apalagi saat ia tahu diriku akan menikah dengan Tatiana.
Aku duduk termenung di meja makan. Masih di apartemennya Eliza. Terdengar suara berisik dari arah kamar mandi. Eliza sedang mandi. Roti yang Eliza buat, belum aku sentuh. Aku hanya minum sedikit teh.
Kucoba mengingat-ingat apa yang terjadi. Astaga, yang semalam benar-benar sudah terjadi? Berarti sudah dua kali, dong?
Aku spontan menelan air liur.
Yang pertama, dengan perempuan Rusia. Yang kedua, dengan perempuan berdarah Spanyol-Yahudi.
Aku menarik napas dalam-dalam. Aroma mint dari teh yang Eliza buat masih terasa samar di udara. Perlahan, kubuka ponselku. Sisa baterainya tinggal 9%. Pesan terakhir dari Tatiana masuk tujuh jam lalu. Hanya tiga kata sederhana. Yang sangat tidak masuk akal.
"Kau di mana, Iman?"
Aku tak berani membalas. Tanganku bergetar, bukan karena dingin, tapi rasa bersalah yang menyesakkan dada. Bayangan wajah Tatiana muncul jelas. Matanya yang biru terang, senyumnya yang hangat, dan suaranya yang lembut ketika menyebut namaku dalam bahasa Rusia. Aku menunduk, menatap lantai ubin putih apartemen Eliza, merasa seperti seseorang yang baru saja kehilangan arah.
Pintu kamar mandi terbuka. Eliza keluar dengan rambut masih basah dan handuk melilit tubuhnya. Ia menatapku sekilas, lalu tersenyum tipis.
“Masih merasa bersalah?” katanya dengan aksen yang berat, separuh Spanyol, separuh Ibrani.
Aku hanya diam.
Eliza menaruh handuk di bahunya, lalu duduk di kursi seberangku. Ia mengambil sepotong roti dan menggigitnya perlahan, seolah suasana ini bukan hal yang luar biasa baginya.
“Kau bukan pria pertama yang terjebak oleh kehidupan malam Tel Aviv,” ujarnya pelan. “Kau tahu, kota ini seperti punya kekuatan untuk membuat orang melupakan dirinya sendiri.”
Aku menatapnya dengan tatapan yang sulit dijelaskan. “Tapi aku tidak mau lupa siapa diriku,” kataku akhirnya. “Aku tidak mau melupakan siapa yang menungguku.”
Eliza menatapku balik, matanya lembut tapi penuh luka yang tak bisa kujelaskan. “Kadang, yang menunggu kita pun bisa berubah. Dunia tidak sesederhana seperti di foto-foto pernikahan, Iman.”
Aku tak menjawab. Tapi kata-katanya menancap dalam.
Sekitar pukul enam pagi, aku sudah keluar dari apartemennya. Udara pagi Tel Aviv terasa sejuk dan sedikit asin, karena angin laut dari arah barat. Jalanan masih sepi, hanya beberapa mobil lewat dan suara burung camar yang terbang rendah. Aku menundukkan kepala, menyembunyikan wajah di balik hoodie yang kupakai.
Langkahku mengarah ke halte bus, tapi bukan karena aku tahu mau ke mana. Aku hanya ingin pergi sejauh mungkin dari tempat itu. Dari kesalahan itu.
Saat bus tiba, aku duduk di kursi belakang. Pemandangan kota Tel Aviv di pagi hari seperti kota yang baru lahir. Gedung-gedung putih memantulkan cahaya matahari pertama, dan orang-orang mulai keluar dari rumah dengan kopi di tangan. Namun, bagiku, semuanya terasa seperti dunia lain yang tak kumengerti
Ponselku bergetar lagi. Kali ini, pesan dari Solomon.