Sebetulnya tidak ada Eliza. Hanya ada aku dan Solomon duduk di kafe yang ada di Tel Aviv ini. Di saat sedang mengobrol tentang aliran dalam Kristen--yaitu Unitarian, Eliza datang. Ia main duduk begitu saja di dekatku. Benar-benar di dekat aku.
Eliza ini cukup menyerupai Tatiana yang berada di Kaliningrad sana. Sama-sama pirang. Sama-sama bodinya cukup montok. Juga...
...aku menelan air liur.
Eliza berdeham. Ia mengerlingkan nakal ke arah aku yang sontak menyesap americano. Americano ini, ah, aku ditraktir Solomon.
Solomon mengernyitkan dahi. "Wah, sepertinya sesuatu terjadi di antara kalian berdua. Iman, aku hanya mengingatkan, meski kau berada di sini, di Tel Aviv. Meski kau ragu juga, setidaknya belajarlah untuk setia."
Sontak Solomon tertawa, lalu ikut menyesap americano.
Aku menggelengkan kepala saat mendengarkan kata-kata Solomon tadi. Sebetulnya aku sendiri bingung dalam menentukan status hubungan aku. Aku ini lajang? Atau, sudah memiliki pacar? Bisakah hubungan aku dan Tatiana itu disebut sebagai berpacaran?
Giliran Eliza yang mengernyitkan dahi. "Apa maksudmu, Sally?"
Solomon terkekeh. "Kau tidak tahu, Liz? Iman ini, dia sebetulnya sudah memiliki seseorang. Kukira, dari ceritanya saat itu, perempuan Rusia itu jauh lebih cantik dari kau, Liz."
"R-rusia?" Tampaknya Eliza cemburu. "Ke-kenapa kau tak bilang apa-apa sama sekali ke aku, Iman?"
"Kau juga tak pernah bertanya, Liz," jawabku menghela napas.
"Aku seperti perempuan murahan saja," Eliza menggeleng-gelengkan kepala.
"Stop being dramatic, Liz," kata Solomon galak.
Sementara aku, mendadak aku kembali membayangkan momen itu lagi. Kali ini bayangan-bayangan erotis itu muncul di kepala. Perlahan-lahan aku mulai memahami apa yang terjadi saat itu. Saat itu, Eliza dan temanku terus mendesak aku untuk turun bergoyang. Awalnya aku menolak, lambat laun, apalagi karena Marco ikut mengompori, aku luluh juga. Aku turun. Lalu Eliza yang lebih sering menggoda aku. Ia membuat aku menari kesetanan. Bahkan Eliza dan Marco memaksa aku minum beberapa loki alkohol. Sampai akhir... jackpot. Aku muntah-muntah. Eliza menawarkan diri untuk membawaku ke toilet. Nyatanya aku dan Eliza malah berakhir di apartemen Eliza. Alkohol sudah membutakan mataku dan mata Eliza. Terjadilah hubungan tersebut.
Aku menatap cangkir americano-ku yang kini sudah tinggal separuh. Permukaannya beriak halus, terkena hembusan angin dari ventilasi kafe. Di luar, sinar matahari Tel Aviv menembus jendela besar, memantulkan bayangan Eliza di meja kayu tempat kami duduk. Rambut pirangnya yang bergelombang memantul cahaya keemasan. Setiap kali dia bergerak, aroma parfumnya terasa memenuhi ruang di antara kami. Sepertinya aku suka. Bagaikan campuran vanila dan garam laut.
Aku menelan ludah lagi, mencoba mengusir rasa tidak nyaman yang tiba-tiba menyeruak. Mungkin karena rasa bersalah itu belum benar-benar pergi, atau mungkin karena Eliza sendiri masih menyisakan sesuatu yang sulit aku pahami. Daya tarik yang samar antara menggoda dan menyayat.
“Iman.” Suara Solomon memecah lamunanku. “Kau melamun lagi. Jangan pikirkan yang semalam.”
Aku menatapnya cepat. “Aku tidak bisa tidak memikirkannya, Sally. Aku bahkan tidak yakin apa yang terjadi itu benar. Semua terasa seperti potongan mimpi yang kabur. Tapi aku tahu… ada yang salah.”
Solomon menyandarkan punggungnya, menatap keluar jendela. “Yang salah bukan karena kau lemah. Yang salah adalah karena kau membiarkan penyesalanmu berakar terlalu dalam. Jangan biarkan itu tumbuh menjadi kebencian terhadap dirimu sendiri.”
Eliza, yang sedari tadi diam, kini ikut bicara. “Aku tidak ingin membuatmu merasa bersalah, Iman. Tapi aku juga tidak bisa berpura-pura seolah semuanya tidak terjadi.”
Nada suaranya datar, tapi di balik itu ada getaran kecil. Antara marah, sedih, dan entah apa lagi. Ia menatapku dengan sorot mata yang dulu pernah kulihat di Tatiana. Sorot mata seseorang yang terluka, tapi berusaha tampak tegar.
“Eliza,” kataku perlahan, “aku tidak ingin menyakiti siapa pun. Tapi aku juga tidak ingin berbohong. Hatiku… tidak di sini.”