Isekai Everywhere

Nuel Lubis
Chapter #19

Obrolan dengan Eliza di Pantai

"Bersenang-senanglah, Iman," Begitulah yang aku ingat dari kata-kata Solomon saat Eliza datang ke rumahnya hanya demi mengajak aku jalan-jalan.

Kini, di sinilah aku. Bersama seorang perempuan cantik berambut pirang. Kuakui, agak canggung. Meski ini bukan pengalaman pertama, tetap saja aku sering merasa canggung saat berdekatan dengan lawan jenis. Apalagi perempuan yang aku sedang bersama ini, dirinya sedang mengenakan bikini dan tersenyum cukup menawan.

"Bagaimana?" tanya Eliza mengerlingkan sebelah mata, lalu minum minuman lemon. "Bagus, tidak?"

"B-bikininya?" tanyaku menelan air liur. "Oh, bagus, bagus, Eliza. Kamu cocok mengenakannya."

Eliza tertawa terbahak-bahak. Lalu badannya coba ditegakkan dan menelengkan kepala ke arah aku. Pelan-pelan senyumnya mulai memudar. Makin canggung saja aku. Jantungku semakin berdebar-debar. Mana, harus aku akui, wajah Eliza agak mirip Tatiana. Sekonyong-konyong aku kembali merasa bahwa aku seorang laki-laki yang sudah memiliki kekasih. Timbul rasa bersalah sudah mengkhianati seorang perempuan.

"Iman," Eliza kembali tersenyum. "yang kemarin itu aku minta maaf."

"Tidak apa-apa," Aku tergesa-gesa mengalihkan pandangan ke arah segelas lemon dan minum lemon tersebut. "Kamu tidak salah juga, Liza. Mungkin benar yang dikatakan Sally, kita berdua saling kehilangan kendali atas diri masing-masing."

"Iman," Kelihatannya Eliza mengembuskan napas.

Sejenak kemudian, hening.

Hening.

Aku dan Eliza saling berpandangan. Spontan aku menelan air liur. Sekonyong-konyong aku teringat kejadian malam itu. Astaga, kacau sekali situasinya.

"Iman, kurasa aku benar-benar menyukaimu," kata Eliza memecah keheningan yang cukup lama."

"A-apa?" Aku tergeragap. "Bagaimana bisa? Kita kan baru kali ini saling kenal. Belum lama juga aku mengenalmu, Liza."

"Ada pepatah berkata, cinta itu tidak membutuhkan alasan. Dan, well, aku... naksir k-kamu, Iman. Ada sesuatu dalam dirimu yang membuat aku jatuh cinta. Tak peduli apa yang dikatakan Sally, kamu sudah punya seseorang. Dan... aku minta maaf."

Aku terdiam cukup lama. Di antara suara ombak yang bergulung pelan dan teriakan anak-anak bermain pasir, dunia terasa berhenti berputar sejenak.

Eliza menatapku dalam-dalam, dan di matanya aku melihat sesuatu yang berbeda dari sebelumnya. Tidak sekadar daya tarik, bukan pula godaan, tapi luka yang entah sejak kapan sudah ada di sana.

“Eliza…”

Aku tidak tahu harus memulai dari mana. Aku mengusap tengkukku, mencoba menata kata. “Aku tidak tahu apa yang harus kukatakan. Jujur saja, aku merasa campur aduk. Antara bingung, bersalah, dan… terharu.”

Ia tertawa kecil, tapi tawanya getir. “Jangan kasihan padaku, Iman. Aku bukan gadis belasan tahun yang butuh penghiburan.”

“Bukan itu maksudku,” ujarku cepat. “Aku hanya… tidak ingin mempermainkan siapa pun. Kau orang baik, Eliza. Tapi di hatiku masih ada seseorang.”

Orang itu adalah Tatiana. Nama itu melintas begitu saja di kepalaku, seperti mantra yang sulit dihapus.

Eliza menatap laut, meneguk sisa lemonnya, lalu berkata pelan, “Tatiana itu sungguh perempuan yang beruntung."

Aku menatapnya. Ia tersenyum pahit. “Sally cerita sedikit tentang dia. Katanya, dia gadis Rusia yang kau tinggalkan di Kaliningrad. Cantik, baik, dan… kau mencintainya, kan?”

Lihat selengkapnya