Isekai Everywhere

Nuel Lubis
Chapter #20

Malah Mendarat di Tokyo

"Iman... aku menunggumu..."

Suaranya terdengar seperti Tatiana. Kukira, kilatan cahaya itu akan mengantarkan aku pada Tatiana dan keluarganya lagi. Sayangnya aku malah mendarat di dunia yang berbeda. Dari suara orang-orang di sekitarku, ini kelihatan seperti di Jepang. Mungkinkah aku tiba di Jepang?

Tiba-tiba seorang perempuan berambut panjang dengan lesung pipit cukup manis, menghampiri aku. Ia menarik aku. Hampir saja aku ditabrak truk gandeng. Di trotoar, perempuan itu memelototiku.

"Baka!" seru si perempuan. "Apa kau sudah bosan hidup? Lantas mau bunuh diri?"

Aku menelan air liur. Kuperhatikan baik-baik, perempuan itu mengenakan kaus berupa seragam sepak bola tim nasional Jepang dengan nama punggung Nakata sebagai atasannya. Untuk bawahannya, ia mengenakan rok mini dan stoking panjang.

"I-ini di mana?" tanyaku panik.

"Kau ini kenapa?" tanya si perempuan balik. "Ini di Jepang. Tokyo, tanggal 26 Mei 2002. Kepalamu terbentur sesuatu?"

"T-tokyo?"

"Iya, ini di Tokyo. Tapi ayo ikut aku. Beberapa orang memperhatikan kita berdua. Aku jadi tidak enak. Oh iya, namaku Watanabe Sakura. Namamu siapa? Sepertinya kau bukan orang Jepang."

"A-aku Iman, dari Indonesia."

Watanabe Sakura memiringkan kepala, seolah mempelajari wajahku. “Iman… dari Indonesia?” ulangnya pelan, dengan logat Jepang yang membuat namaku terdengar seperti Imang. “Ah, aku tahu! Negara tropis itu, kan? Panas, banyak pulau, dan… kalian suka sepak bola juga!”

Aku hanya mengangguk bingung. Dunia ini benar-benar terasa nyata. Udara Tokyo sore itu sedikit lembab, aroma gorengan dari kios takoyaki di pinggir jalan bercampur dengan asap knalpot. Orang-orang berlalu-lalang cepat, sebagian menatap aneh ke arahku yang berpakaian asing. Kuperhatikan diriku sekilas, yang mendadak mengenakan jaket coklat lusuh dan celana panjang yang bahkan mungkin tidak cocok dengan cuaca Jepang di bulan Mei.

Sakura menarik lenganku. “Kau kelihatan kacau, Iman. Ayo ikut aku ke tempat aman dulu. Rumahku tidak jauh dari sini.”

Aku menatapnya ragu. Namun, mengingat tadi hampir tertabrak truk, aku akhirnya mengikuti langkahnya. Kami melewati gang sempit yang dihiasi lampu-lampu merah muda dan poster iklan Piala Dunia 2002—Japan-Korea World Cup. Ada wajah Nakata, Zidane, dan Ronaldo di sana. Sungguh nyata. Ini benar-benar di tahun 2002.

“Jadi, kau datang ke Jepang… sendirian?” tanya Sakura sambil membuka pintu apartemennya yang kecil tapi rapi. “Atau kau tersesat?”

Aku menatap sekeliling ruangan mungil itu. Ada rak berisi CD musik J-Pop, poster Ayumi Hamasaki, dan beberapa boneka kecil di atas televisi tabung. Semua sangat tahun 2000-an.

“Sejujurnya,” aku menarik napas panjang, “aku bahkan tidak tahu bagaimana aku bisa ada di sini. Tadi aku masih di Tel Aviv, lalu… ada cahaya, dan… aku muncul di tengah jalan.”

Sakura menatapku heran. “Kau ini bicara apa? Tel Aviv? Kau bermimpi? Kau aneh sekali!"

Aku tersenyum kaku. “Andai saja.”

Sakura menghela napas, lalu menaruh segelas teh hijau di meja kecil. “Baiklah, anggap saja aku percaya. Tapi mulai sekarang, jangan buat masalah. Tokyo sedang ramai, apalagi ini musim Piala Dunia. Polisi banyak berkeliaran. Mereka bisa salah sangka.”

Aku mengangguk. “Terima kasih, Sakura.”

Lihat selengkapnya