Isekai Everywhere

Nuel Lubis
Chapter #21

Ditembak Perempuan Jepang

Aku terpaku di tempat. Kata-kata Sakura meluncur begitu saja, ringan tapi juga mengguncang sesuatu di dalam diriku.

Hontou ni kimi ni sukida.

Kalimat itu mengambang di udara Tokyo yang lembap sore itu. Antara kejujuran, spontanitas, dan sedikit keberanian yang menggetarkan.

Aku menatap Sakura, tak yakin apakah aku harus menjawab atau berpura-pura tidak mendengar. Ia berdiri di hadapanku, rambut panjangnya bergerak lembut tertiup angin yang barangkali memang sedang fuiteiru, tapi tidak sekuat degupan jantungku saat ini.

“Sakura…” suaraku pelan, hampir tenggelam di antara suara kendaraan yang melintas. “Kau tahu aku tidak berasal dari sini, kan?”

Ia tertawa kecil, menepuk bahuku. “Tentu aku tahu. Logatmu saja sudah aneh. Tapi perasaan bukan tentang dari mana seseorang berasal.”

Tatapannya jujur. Terlalu jujur untuk aku tidak melihat ke arah Sakura. Lagi pula, aku menyukai cara Sakura tersenyum. Lesung pipitnya langsung muncul. Matanya sontak seperti kucing saja.

Aku menarik napas panjang, mencoba menenangkan gejolak di dada. “A-aku tidak tahu berapa lama aku akan ada di sini, Sakura. Bisa jadi besok aku akan menghilang lagi. Bisa jadi aku terlempar ke dunia lain, waktu lain. Kau tidak akan tahu, aku pun tidak.”

Ia tersenyum samar, tapi matanya bergetar sedikit. “Kau bicara seperti karakter di anime bertema isekai, Iman.”

Aku ikut tertawa hambar. “Ya, mungkin aku memang karakter yang belum tahu akhir ceritanya sendiri.”

Sakura menatapku lama. “Kalau begitu, biarkan aku menjadi satu bab dalam kisahmu. Walau sebentar, aku ingin tahu seperti apa rasanya menjadi bagian dari perjalanan seseorang yang sedang mencari arti ‘pulang’.”

Kata-katanya membuat dadaku sesak. Ada ketulusan yang lembut di baliknya, dan rasa hangat yang mengingatkanku pada Tatiana. Namun, berbeda dengan Tatiana yang halus dan lembut, Sakura memiliki sisi tegas yang seperti langit Tokyo yang bisa berganti dari cerah ke kelabu dalam hitungan menit.

Aku menunduk. “Sakura, aku tidak ingin menyakiti siapa pun lagi.”

Ia melangkah mendekat, jarak kami kini hanya sehelai napas. “Kau tidak sedang menyakiti siapa pun, Iman. Aku tidak merasa kau sedang menyakitiku.”

Kami duduk di taman dekat sungai malam itu. Sakura membeli dua kaleng kopi panas dari vending machine, dan memberikan satu padaku. “Minum ini,” katanya. "Jepang bisa terasa dingin kalau hatimu sedang kosong

Aku terkekeh. “Kau selalu bicara seperti seorang penulis puisi saja."

Ia menatap langit yang mulai gelap. “Mungkin karena hidupku sendiri kadang terasa seperti puisi yang tidak akan pernah selesai. Lagi pula, kau tahu, Iman, saat masih sekolah dulu, aku senang membuat haiku."

Kami terdiam cukup lama, mendengarkan suara air sungai yang mengalir lembut. Lampu-lampu jalan memantulkan cahaya ke permukaan air, seolah Tokyo sedang bernafas dalam warna oranye dan biru.

“Aku pernah jatuh cinta sekali,” kata Sakura tiba-tiba. “Laki-laki itu orang Jepang dan mengaku lahir di Hokkaido. Dia seorang fotografer. Kami bertemu di festival musim panas. Tapi setelah dua bulan, dia pergi begitu saja. Katanya mau ke Eropa, mencari dirinya yang hilang. Lucu sekali, Iman. Bahkan orang Jepang pun bisa tersesat.”

Aku menatapnya. “Dan sejak itu kau tak jatuh cinta lagi?”

Lihat selengkapnya