“Fuyu no kaze ga yasashiku fuite, boku no kao o nadeta… Tabun, kaze wa fuiteiru,” gumamku refleks.
Bahasa itu meluncur begitu saja dari lidah, padahal jelas-jelas papan nama toko di sekelilingku berhuruf Kiril, dan lonceng gereja di kejauhan membunyikan dentang yang sangat khas Kaliningrad.
Namun ini bukan Kaliningrad yang kukenal. Jalan terasa lebih lebar, bangunan kaca menjulang di antara blok-blok tua era Soviet, trotoar rapi dengan lampu jalan bergaya modern. Ada halte dengan layar LED menampilkan jadwal trem. Udara menggigit, tapi tidak separah musim dingin yang dulu kutahu. Saat itu, angin membawa aroma laut Baltik, yang asin, tajam, sekaligus menenangkan. Sekarang tahun 2025?
Seorang perempuan bertampang Asia Timur menghampiri, mantelnya krem, syal biru langit melilit lehernya. Wajahnya bersih, rambut hitamnya diikat rendah, ada lesung kecil di pipi ketika ia bicara.
“Anata, nihon-jin desu ka?” tanyanya, ragu, tapi sorot matanya awas.
Aku menggeleng cepat. “Sebetulnya aku orang ndonesia, tapi bisa sedikit bahasa Jepang.” Lalu, entah mengapa aku menambahkan, “Nama saya Iman.”
Dia menarik napas lega. “Sou desuka. Saya Sakura,” katanya, beralih ke bahasa Inggris yang jernih, lalu ke Rusia dengan aksen lembut ketika menyapa seorang pejalan yang hampir menabrakku. “Kita di Kaliningrad,” lanjutnya padaku, berbisik, “tahun 2025.”
Aku menatapnya lama. Nama itu mengguncang dadaku. Ada Sakura lain di kepalaku. Sakura yang mengenakan jersey Nakata, kamera polaroid, dan teriakan di stadion. Namun perempuan di hadapanku lebih muda jelas bukan Sakura yang memelukku di Jepang 2002. Yang ini seperti berusia paruh baya. Atau mungkin waktu sedang bermain-main lagi?
“Maaf kalau tiba-tiba,” ucapnya, “tapi kau barusan berdiri terlalu dekat dengan jalur trem. Dan kau terlihat kebingungan. Kau tersesat?”
Aku menelan ludah. “Bisa dibilang begitu.” Napasku memendek. “Aku mencari seseorang. Tatiana. Dan sebuah gereja lama.”
Sakura mengernyit, berpikir. “Kaliningrad punya banyak gereja. Kau tahu daerahnya?”
Aku menyebut sebuah nama jalan yang kuingat dari masa 1983. Itu seperti sebuah bunyi yang bergetar dari masa lalu seperti doa yang tak pernah selesai. Sakura mengetuk-ngetuk ponselnya, memandang peta.
“Namanya sudah berganti,” katanya. “Tapi aku tahu area itu.”
Ia berhenti sejenak, lalu menatapku dengan keingintahuan yang tidak menggurui. “Kalau tidak keberatan, aku temani. Aku mahasiswa pertukaran dari Tokyo, program hubungan internasional. Aku sedang melakukan penelitian tentang identitas kota ini. Tentang perbatasan, sejarah, dan memori. Orang-orang sering bingung dengan perubahan nama tempat. Kau bukan satu-satunya yang mencari masa lalu di kota ini.”
Kami berjalan menyusuri trotoar. Trem melintas, menggeram pelan, memantulkan bayangan kami di kaca-kacanya. Sakura melangkah cepat, tapi menyesuaikan ketika melihatku terhenti, memandangi jendela bekas toko roti. Kini itu adalah kafe modern, yang dulu, di kepalaku, baunya manis dan hangat.
“Apa yang kau cari dari Tatiana?” tanya Sakura, suaranya hati-hati.
“Rumah,” jawabku. Kata itu keluar begitu saja, polos, tanpa baju retorika. “Atau kompas untuk pulang.”
Sakura mengangguk pelan, seolah mencatat kalimat itu untuk sebuah makalah. “Orang sering mengira rumah itu alamat. Padahal kadang rumah adalah seseorang.”
Aku menoleh, menatapnya. Ada kecerdasan tenang di mata Sakura. Mirip sekali dengan tatapan seorang uskup tua yang dulu mengajariku menahan diri. Alexei. Nama itu menyambar seperti kilat.
“Gereja itu,” ucapku, “pemimpinnya bernama Alexei. Kau tahu?”
Sakura mengangkat bahu kecil. “Ada beberapa Alexei di daftar arsip kotaku. Tapi…” Ia menunjuk layar ponsel. “garis besar daerahnya, di depan sana, lima blok lagi. Kita lihat saja. Apa kau benar atau tidak?”
Kami menyusuri lorong-lorong yang terasa asing sekaligus akrab, seperti melintasi mimpi yang pernah kualami, lalu lupa detailnya. Toko buku bergaya indie, mural pudar tentang perdamaian, kios bunga dengan mawar yang disampul kertas cokelat. Di balik semua yang baru itu, ada susunan batu tua yang abadi. Fondasi kota yang menua tanpa mengeluh.
Di sudut jalan, berdiri bangunan batu bergaya Eropa Timur, atapnya mengerucut sederhana, salib kecil di puncak. Pintu kayu gelap, ditempeli pengumuman kebaktian. Jantungku memukul-mukul rusuk.