Sore yang menurut aku cukup cerah di Kaliningrad. Kali ini bukan di era 1980-an. Aku di tahun 2025. Rasanya aku seperti diberikan hadiah jalan-jalan ke luar negeri, entah oleh siapa.
Aku duduk di salah satu kafe kecil yang ada ada di Kaliningrad. Bersama Tatiana dan Sakura.
Sebentar, sebentar, aku mau bercerita tentang Sakura dulu. Aku kaget bukan kepalang karena Sakura bilang nama lengkapnya adalah Sakura Watanabe. Nama itu sungguh persis dengan perempuan Jepang yang aku temui saat terdampar di Tokyo tahun 2002. Sakura juga bilang, kali pertama bertemu dengan aku, dia seperti merasa déjà vu. Seperti pernah bertemu dengan aku. Namun dia lupa bertemunya kapan dan di mana.
Sakura terkekeh di hadapan aku, dan melanjutkan kata-katanya, "Mungkinkah kita bertemu di alam mimpi? Jika iya, masa bisa sejelas itu visualmu di mimpi aku, Iman?"
Aku balas terkekeh. Lalu aku memperhatikan wajah Tatiana. Semacam ada kerinduan dalam kedua bola mata Tatiana. Kerinduan yang terlepaskan setengah akhirnya bertemu dengan seseorang yang sudah ia nanti-nantikan.
Tatiana juga tadi sempat bercerita, setelah aku menghilang tanpa kabar, ia sempat menikah sebentar. Ia menikahi teman kampusnya yang bernama Sergei. Namun pernikahan itu hanya berlangsung sampai terjadi revolusi yang membuat Uni Soviet terpecah belah menjadi beberapa negara. Sergei sendiri asli Ukraina. Itu membuat Tatiana memegang nama keluarga Kurylenko.
Selain itu, akibat konflik menjelang dan pasca kejatuhan Uni Soviet, adiknya Tatiana, Vladimir, dikabarkan menghilang. Begitu Igor berhasil menemukan, ternyata hanya batu nisan bertuliskan nama Vladimir.
Aku menelan air liur dan memandang Tatiana sekilas. "Aku turut prihatin dengan apa yang kau alami, Tatiana. Maafkan aku, sudah pergi tanpa kabar saat itu. Bukan kehendak aku juga."
"Aku paham," Tatiana sejenak meminum minuman yang katanya mijunan khas Rusia, tapi bukan alkohol. "Alexei juga dulu pernah mengingatkan aku, Iman. Makanya aku terima perjodohan aku dan Sergei. Sampai Sergei tewas dalam pertempuran, aku terpikirkan kau dan memutuskan untuk tidak menjalin hubungan dengan laki-laki mana pun. Dan, penantian aku tidak sia-sia."
Ingin sekali aku menangis di depan dua perempuan cantik yang berbeda ras ini.
"Naite n yo," ujar Sakura. "Kukira kau mau menangis. Makanya, menangislah. Laki-laki selalu seperti itu. Gengsinya lebih tinggi daripada kita, perempuan."
Aku tidak tahu dari mana harus memulai. Kupandangi langit Kaliningrad yang semakin berwarna jingga lembut. Matahari perlahan turun di ufuk barat, menyinari jalan-jalan kota yang kini jauh lebih hidup dibandingkan masa 1980-an yang kukenal dulu. Oh, kafe kecil tempat kami duduk ini terletak di pojok jalan dekat alun-alun Victory Square. Menurut aku, bangunannya sederhana, dengan jendela besar yang menghadap ke arah menara gereja tua di kejauhan. Di atas meja kami, masih terhidang ada tiga cangkir minuman panas yang mengepul. Tercium aroma kayu manis dan kopi bercampur dengan wangi daun-daun gugur.
Kuperhatikan Tatiana yang masih dengan auranya yang menenangkan. Senyumnya lembut, sedikit lelah, tapi hangat. Ada bekas kehidupan panjang di balik matanya. Aku sangat merasakan bau-bau kehilangan, keteguhan hati, hingga cinta yang bertahan melintasi ruang dan waktu.
Sementara Sakura terlihat lebih matang dan tenang. Namun tawa dan cara matanya berkilat ketika berbicara masih sama persis.
Sakura lalu menatapku sambil memainkan sendok kecil di dalam cangkirnya. “Kau tahu,” katanya dengan suara lembut tapi bercampur geli, “aku benar-benar merasa kita sudah pernah bertemu, Iman. Tapi aku tidak tahu kapan.”
Dan aku tidak bicara tentang déjà vu biasa. Rasanya seperti… kenangan yang belum sempat terjadi.”
Aku tersenyum kaku. “Mungkin memang pernah terjadi, tapi di waktu yang berbeda. Aku sendiri bingung menjelaskan ke kamu, Sakura."
Tatiana menatapku tajam, seperti sedang membaca lapisan kata-kataku. “Waktu yang berbeda?” tanyanya.