Ternyata Tuhan tidak mengabulkan permintaan aku. Aku tetap saja berpindah tempat dan waktu. Segalanya bermula saat aku pulang dari kafe. Aku minta izin ke Tatiana dan Sakura. Alasanku, ingin melihat-lihat kota sejenak. Sayangnya, di saat aku ingin menikmati kota, ada saja gangguan. Aku dicopet. Kucoba mengejar si pencopet. Sialnya aku malah disergap gerombolan orang jahat. Mereka menangkap aku, lalu membius aku. Bangun-bangun sepertinya aku kembali ke Tokyo.
Iya, aku kembali ke Tokyo. Namun tak ada Sakura Watanabe. Ini sepertinya bagian lain dari Tokyo, dan di tahun berbeda.
Sayup-sayup aku mendengar seorang laki-laki sedang coba menghampiri aku. Ia mengenakan headset yang menutupi kedua telinganya. Aku sepertinya familier dengan lagu yang ia coba dengar. Saat masih di Indonesia, aku senang mendengar lagu-lagu mereka.
"...soredemo mirai e
Kaze wa fuite iru
Hoho ni kanjiru
Inochi no ibuki..."
"Mayo tta no?" tanya si laki-laki yang mengenakan hoodie dengan ukiran dua angka di sudut kanan atas. Itu adalah 48. "Ano, ore wa Iwada Kenichi. Onamaewa?"
Aku meraih tangannya dan berkata, "Watashi wa Iman desu. Indoneshia kara desuka."
Mataku masih berkunang-kunang. Cahaya neon Tokyo terasa lebih menyilaukan dari biasanya, dan udara malamnya menyerang paru-paruku seperti gelombang kenangan yang tak sabar menamparku. Aku menatap sekeliling. Lalu lintasnya yang padat. Papan reklame besar menampilkan wajah-wajah selebrita Jepang yang aku tak kenali. Orang-orang berjas yang hilir mudik nan tergesa-gesa sekali. Semua terasa akrab dan asing sekaligus.
Kupandangi sekitar. Melintas mobil-mobil di jalan cukup modern. Lampu reklame menampilkan layar ultra-HD. Lalu lagu yang terdengar tadi, seingat aku, itu dari sebuah grup idola Jepang. Tempat mereka berlatih ada di Akihabara. "Kaze wa Fuiteiru" merupakan salah satu lagu Jepang favoritku saat masih tinggal di Tangerang. Ironisnya, lagu itu sendiri artinya “Angin yang tetap berembus menuju masa depan.” Lagu tentang harapan setelah kehancuran. Aku merasa tersindir.
Aku mengangguk pelan, masih kebingungan. “Etoo... Mayoimashita. Indoneshia kara, ne."
Sengaja aku mengulangi asalku dari mana. Barangkali dia kurang begitu menyimak.
Wajahnya berubah sejenak, dari heran menjadi kagum. “Indoneshia? Sugoi ne! Totemo nagai--jauh sekali!” katanya. “Kau datang ke Tokyo sendirian?”
Aku ragu harus menjawab apa. Apa aku harus bilang aku berpindah tempat dan waktu karena entah kekuatan apa?
Akhirnya aku hanya menjawab jujur sebagian, “Aku tidak tahu kenapa aku bisa di sini. Aku hanya sadar, sebelumnya aku ada di Kaliningrad. Sekarang aku di Tokyo lagi.”
Kenichi menatapku lama. Ia tidak tertawa, tidak juga menuduhku gila. Ia malah berkata tenang, “Kadang dunia suka membawa kita ke tempat yang tidak kita pilih. Tapi mungkin itu karena di sini ada sesuatu yang harus kamu temukan.”
Aku menatapnya dengan rasa penasaran yang tumbuh pelan. Ia tampak bijak untuk anak muda berusia dua puluhan awal.
Ia menunjuk sebuah kafe kecil di seberang jalan. “Ayo, kamu kelihatan lemas. Ocha, ocha.”
Kami duduk di kafe yang remang-remang, berisi aroma matcha dan roti panggang. Lagu grup idola yang tadi ia dengarkan kini terdengar dari pengeras suara kafe, versi acoustic live. Kenichi memesan dua cangkir teh hijau panas dan satu dorayaki.
“Jadi,” katanya, “kau bilang tadi… dari Kaliningrad?”