Isekai Everywhere

Nuel Lubis
Chapter #25

Isekai ke El Salvador

"CUIDADO!"

Tiba-tiba saja tanganku ditarik oleh seseorang. Itu seorang laki-laki dengan tato naga hijau di salah satu lengannya. Hidungnya agak ditindik.

Aku kaget bukan kepalang. Ternyata itu mengantarkan aku ke kawasan berbahasa Spanyol. Entah itu di daerah mana. Negara-negara berbahasa Spanyol itu juga ada banyak, kurasa.

Sayup-sayup terdengar percakapan antara laki-laki bertato naga hijau itu dengan seseorang lainnya yang wajahnya di penuhi tato. Intinya, aku seperti diselamatkan oleh dirinya. Jika tidak ada dirinya, kurasa, beberapa laki-laki sangar itu sudah menembak aku. Satu-dua dari mereka sudah menenteng senapan laras panjang.

Selanjutnya laki-laki itu membawa aku ke rumahnya yang seperti rumah aku di Tangerang. Yang sedang-sedang saja. Di dalamnnya, ada seorang anak perempuan. Ia mengaku itu adalah adik perempuannya yang kelas 5.

Lalu ia menyorongkan tangan untuk berjabat tangan dan berkata, "Pedro."

Aku membalas jabat tangannya, "Iman, dari Tangerang, Indonesia."

Inilah keunikan isekai yang aku jalani. Setiap aku berpindah tempat dan waktu, aku langsung memahami bahasa orang yang ada di sekitar aku. Aku sendiri bingung kenapa begitu.

"Tangerang?" Pedro mengernyitkan dahi. "Aku baru pernah dengar nama kota itu. Kalau Indonesia, aku tahu itu negara menakjubkan. Negara dengan kekayaan alam luar biasa, tapi sayangnya angka korupsi di sana tinggi. Tak jauh berbeda dengan El Salvador. Kalau negaramu bermasalah dengan koruptor, di sini, kita bermasalah dengan kartel."

El Salvador? Ternyata aku dilempar hingga El Salvador. Sepertinya El Salvador sebelum penjara itu dibangun. Sebelum Nayib Bukele terpilih. Orang-orang yang menembak aku adalah... mereka bagian dari kartel.

"Kau jangan takut," Pedro sekonyong-konyong berdiri dari bangku dan sepertinya hendak ke dapur. "Meski aku bertato begini, sesungguhnya aku orang baik. Aku terjerembab ke dunia itu juga, bukan karena keinginanku. Karena kudengar, berjualan obat-obatan itu bisa membuat aku cepat kaya. Kalau uang sudah terkumpul, akan kubawa adik perempuan aku ini ke Amerika Serikat. Tujuanku adalah Florida. Tapi, Los Angeles juga tidak buruk."

"Orangtuamu ke mana?" tanyaku yang masih duduk.

Baru aku sadari, memang hanya ada Pedro dan adik perempuannya. Tak ada orang dewasa lainnya. Rumahnya benar-benar sederhana. Televisinya masih menggunakan televisi tabung. Ada radio di dekat televisi tabung tersebut.

Dari dapur, ia setengah berseru, "Papa dan Mama meninggal karena perang antar kartel. Hanya itu yang bisa aku katakan. Sekarang giliranmu bercerita, bagaimana kau bisa tiba-tiba muncul saat ada transaksi obat-obatan?"

Aku terdiam sejenak. Hanya bunyi sendok dari dapur dan suara radio tua yang memutar musik mariachi pelan yang terdengar di antara kami. Di luar, suara anjing menggonggong sayup, bercampur dengan desingan mobil lewat di jalan berdebu. Rumah ini memang sederhana, tapi terasa hidup. Ada aroma kopi hitam dan roti jagung panggang yang menyeruak dari dapur.

Pedro kembali membawa dua cangkir besar. Ia menaruh satu di hadapanku. Uap panas naik dari cairan gelap itu. “Minumlah. Di sini malam bisa dingin sekali.”

Aku mengangguk, meraih cangkir. “Gracias,” kataku spontan.

Pedro tersenyum. “Oh, kau juga bisa bahasa kami rupanya. Menarik.”

Aku menghela napas panjang. “Aku juga tidak tahu kenapa bisa begitu. Setiap kali aku berpindah ke tempat baru, entah bagaimana otakku langsung memahami bahasa di sekitarku. Seolah-olah Tuhan menyalakan tombol auto-translate di kepalaku.”

Pedro tertawa kecil, tapi tidak mengejek. “Kalau begitu, Tuhanmu itu keren juga.”

Ia meneguk kopinya, lalu bersandar. “Sekarang ceritakan, Iman dari Tangerang. Siapa kau sebenarnya? Kenapa bisa muncul di tengah transaksi kartel paling berbahaya di San Miguel?”

“San Miguel?” aku mengulang. “Jadi ini benar-benar El Salvador?”

Pedro mengangguk. “Ya, untuk apa aku berbohong? Negara kecil dengan banyak neraka di dalamnya.”

Lihat selengkapnya