Saat aku kembali mendarat di halaman rumah keluarga Glazer, memang sedang turun hujan. Cukup deras. Saking derasnya, sampai-sampai mau muncul angin puting beliung. Konon, menurut informasi yang baca di beberapa literatur, daerah-daerah seperti Tel Aviv ini memang sering dilanda angin puting beliung. Tak heran, beberapa orang ketakutan saat melihat pusaran hitam yang melemparkan aku ke halaman rumah keluarga Glazer.
Solomon langsung menarik tangan aku dan segera mengajak aku ke dalam rumahnya. Ia tergesa-gesa berkata, "Orang ini sahabat lamaku dari Indonesia. Yang tadi itu hanyalah content untuk kanal YouTube aku."
Orang-orang yang memperhatikan langsung mengangguk-anggukkan kepala. Mereka segera bubar.
Sementara aku terus diajak Solomon hingga masuk ke dalam kamar. Oh, tadi juga ada ibunya Solomon, Miriam, yang dia tampak senang sekali aku kembali ke sini.
"Aku sudah tahu kau akan kembali, Kawan," kata Solomon menepuk bahuku. "semalam, percaya atau tidak, aku bermimpi tentang cuaca buruk yang menimpa Tel Aviv, dan..."
Aku geli melihat peragaan Solomon.
"...ada seorang pemuda Indonesia jatuh ke halaman rumah aku."
"Kau serius, Sally?"
Solomon hanya tertawa. "Damn, Eliza merindukanmu, Iman. Dia cukup sering bertanya-tanya kapan kau kembali."
Entah kenapa aku penasaran dan bertanya, "Seberapa sering dia menanyakan kabarku?"
Solomon tak menjawab. Hanya nyengir dan menyalakan televisi kecil yang berada di dalam kamar. Tampak berita tentang perdana menteri Israel yang akan terus memaksa Hamas untuk segera menyerah.
"Padahal aku ingin masyarakat Arab dan Yahudi hidup damai tanpa harus saling baku tembak. Kapan itu akan terwujud di daerah ini?"
"Daerah sini masih sering ada baku tembak?"
"Yang di Tel Aviv jarang dan malah hampir tak pernah. Tapi di kota-kota lain, sering. Terutama di Yerusalem."
Suara hujan di luar seperti tabuhan seribu jemari di atas atap seng. Air menetes deras dari talang, menimbulkan suara bergemuruh yang samar-samar menutupi percakapan kami. Lampu kamar Solomon berkedip sebentar karena angin kencang, lalu stabil lagi.
Aku menatap layar televisi kecil itu. Di sana, gambar berita memperlihatkan wajah seorang reporter berdiri di tengah reruntuhan, suara ledakan samar masih terdengar di latar belakang. Di bagian bawah layar, teks berjalan menampilkan:
“Pertempuran masih berlangsung di perbatasan. Korban sipil meningkat.”
Solomon menghela napas panjang. “Dunia ini seperti tak pernah belajar, Iman. Kau pergi ke mana pun, perang hanya berubah bentuk.”
Aku tersenyum hambar. “Aku mulai percaya itu. Di Palestina, aku lihat penderitaan anak-anak Arab akibat perang. Di Rusia, perpecahan beberapa negara. Di Jepang, generasi mudanya sering merasakan kesepian. Di El Salvador, yang muda dilanda ketakutan akibat kartel. Sekarang di sini… kembali ke tanah yang katanya suci, tapi darahnya belum kering.”
Solomon menatapku lama, lalu duduk di kursi dekat jendela. “Dan di tengah semua itu, kau terus dipindahkan oleh sesuatu yang bahkan aku tidak mengerti.”
Aku ikut duduk di tepi ranjang. “Aku pun tidak mengerti, Sally. Setiap kali aku mulai merasa nyaman, setiap kali aku pikir aku sudah menemukan rumah, dunia menendangku keluar. Seolah Tuhan berkata, ‘Belum. Belum waktumu.’”
Solomon menatap ke arah hujan yang membasahi kaca. “Mungkin kau belum menemukan alasan untuk berhenti. Atau, sudah takdirmu begitu.”
Aku menatapnya dengan kening berkerut. “Maksudmu?”
“Coba pikir. Mungkin perjalananmu bukan kutukan, tapi ujian. Kau berpindah-pindah bukan untuk melarikan diri, tapi untuk membawa sesuatu dari setiap tempat. Sebuah pelajaran, mungkin. Dan baru ketika kau tahu untuk apa semua itu, barulah kau mungkin bisa berhenti.”