Isekai Everywhere

Nuel Lubis
Chapter #27

Obrolan dengan Eliza dan Diriku Sendiri

Kukira akan terisap lagi. Nyatanya aku benar-benar tiba di Haifa. Aku kembali ke apartemen Eliza. Elisa tersenyum cukup manis, saat menyambutku.

"Masuklah," kata Eliza. "Akhirnya kau muncul juga, Iman. Beberapa hari tanpa ada dirimu, rasanya ada yang hilang saja. Seperti inikah yang disebut rindu itu?"

Aku tertawa. Solomon benar. Kadang Eliza sering melebih-lebihkan sesuatu. Aku mulai paham kenapa Solomon dan lainnya menjulukinya "Ratu Drama".

Aku melangkah masuk ke dalam apartemennya Eliza. Hujan baru saja berhenti di luar, menyisakan aroma tanah basah dan garam laut yang khas kota pesisir seperti Haifa. Dari balkon, aku bisa melihat garis pantai yang berkilau disapu cahaya senja. Angin lembut menerpa wajahku. Angin yang kali ini terasa begitu nyata. Tidak seperti sebelumnya, saat tiap embusannya bisa saja menjadi awal dari perpindahan waktu yang berikutnya.

Eliza menatapku, seolah tak percaya aku benar-benar di hadapannya. Ia mengenakan sweater berwarna krem, rambut pirangnya terurai lembut, dan matanya yang kecoklatan memantulkan kilau cahaya dari jendela.

“Aku masih takut,” katanya pelan, “bahwa kau hanya bayangan, Iman. Bahwa saat aku berkedip, kau akan hilang lagi.”

Aku tersenyum kecil. “Aku pun takut hal yang sama, Liza. Tapi untuk sekarang… aku nyata.”

Ia menatapku lama, lalu tiba-tiba tertawa kecil. “Kau tahu, aku bahkan menyiapkan chamomile tea untuk menyambutmu, kalau suatu saat kau benar-benar kembali.”

“Dan sekarang?”

“Sekarang tehnya sudah dingin,” katanya, tertawa lagi, “tapi aku tidak peduli.”

Kami duduk di ruang tamu apartemennya yang sederhana. Eliza menuangkan teh ke dalam dua cangkir, meski sudah tak hangat lagi. “Kau tahu,” katanya sambil memandangku, “Solomon bilang kau mungkin tidak akan kembali. Tapi aku tetap menunggu. Setiap sore aku menatap ke arah laut dari balkon, berharap ada seseorang yang jatuh dari langit atau muncul dari kabut.”

Aku tertawa. “Itu terdengar seperti film romantis.”

“Ya, dan aku pemeran utamanymenyiapka Eliza, lalu menatapku dalam-dalam. “Tapi kali ini, aku tidak ingin filmnya berakhir tragis.”

Aku tidak menjawab. Aku hanya memandangi wajahnya, mencoba menyimpan setiap detail dalam ingatanku. Setelah semua yang terjadi, mulai dari Kaliningrad hingga Israel ini, aku tidak tahu berapa lama lagi aku bisa bertahan di dunia ini. Namun satu hal yang aku tahu aku ingin mengingat wajah Eliza selama mungkin.

Malam mulai turun perlahan di atas Haifa. Dari balkon, lampu-lampu kota menyala seperti bintang-bintang kecil. Eliza duduk di kursi rotan sambil menggenggam segelas anggur merah. Aku berdiri di sampingnya, memandang laut yang gelap.

“Kau percaya takdir, Iman?” tanyanya tiba-tiba.

Aku menoleh. “Mungkin.”

“Aku tidak,” katanya, menatap jauh ke horizon. “Tapi setelah bertemu denganmu, aku mulai berpikir, mungkin beberapa hal memang tidak bisa dijelaskan hanya dengan kebetulan.”

Aku tersenyum tipis. “Kalau begitu, mungkin kita berdua hanyalah kebetulan yang diatur dengan sangat rapi.”

Eliza terkekeh pelan. “Kau selalu punya cara membuat sesuatu terdengar seperti puisi.”

Lihat selengkapnya