Isekai Everywhere

Nuel Lubis
Chapter #28

Hah? Aku Koma?

Aku bingung. Bangun-bangun aku sudah berada di atas tempat tidur. Bau-bauan ini khas rumah sakit. Namun, kurasa, ini bukan rumah sakit di Indonesia, melainkan rumah sakit di Jepang.

Pelan-pelan aku menegakkan tubuh. Kuintip secara hati-hati siapa yang menjagaku. Suara musik yang dipasangnya agak kencang. Aku tahu lagu yang ia dengar. Lagu ini, kan, "Summertime - Kimi no Toriko". Sebelum keanehan ini terjadi, sebelum isekai yang aku harus alami, aku sering mendengarnya.

"...kimi no toriko ni natte shimaeba kitto

Kono natsu wa juujitsu suru no motto

Uwasa no doriimingaaru wasurenaide..."

Astaga, laki-laki itu ternyata Kenichi Iwada. Kenichi yang menjadi penjagaku.

Sontak aku memegangi kepalaku. Sakit sekali. Aku bingung kenapa bisa seperti ini. Yang aku ingat, seperti berada di ruangan yang aku tak tahu itu di mana. Lalu, aku bertemu dengan sosok mirip aku. Sebelum pertemuan dengan sosok mirip aku, aku ingat, masih berada di apartemennya Eliza. Sekarang, sejak kapan aku berada di Jepang lagi?

Kulihat, Kenichi terbangun dan langsung berkata, "Oh, kau baru sadar, Iman-san? Sudah berminggu-minggu kau koma. Teman-teman Indonesia-mu khawatir. Aku diminta untuk menjagamu."

"A-aku? Ko-koma?" Aku menelan air liur. Sejak kapan aku koma? Seingat aku, segala sesuatunya bermula sejak aku sedang asyik menonton anime favorit aku.

"Kau melindur hal-hal aneh. Kadang berbicara dalam bahasa Ibrani, Rusia, Inggris, Spanyol, hingga Indonesia dan Jepang. Siapa itu, Tatiana dan Sakura? Teman-temanmu bilang kau itu masih lajang."

Aku terdiam dan hanya menggeleng.

"Sebentar," Kenichi mematikan musiknya dan berdiri. "aku akan belikan kau minuman. Sekaligus mau memberitahukan perawatnya."

Aku hanya bisa menatap langit-langit putih di kamar itu. Terlalu terang. Terlalu steril. Terlalu nyata.

Bau disinfektan begitu kuat sampai-sampai menusuk hidung. Aku menatap infus di tanganku. Setetes demi setetes cairan bening jatuh dalam ritme yang konstan, seperti detak waktu yang akhirnya kembali berjalan setelah entah berapa lama berhenti.

Koma. Aku koma?

Aku lalu menggenggam selimut erat-erat, mencoba memproses semuanya. Bagaimana bisa? Semua hal yang kualami, apakah semuanya hanya mimpi panjang dari tubuh yang tak sadarkan diri? Atau justru ini yang semu? Dunia ini? Rumah sakit ini?

Langkah kaki terdengar di luar kamar. Kenichi kembali, membawa dua kaleng minuman. Ia membuka satu dan meletakkannya di meja kecil di samping ranjangku. “Ini pocari, bagus untuk mengganti ion tubuhmu. Kau kelihatan masih pucat.”

Aku menatapnya lama. Kenichi terlihat sama persis seperti yang kuingat di Tokyo, yang mengenakan hoodie hitam, headphone di leher, dan tatapan mata yang selalu tampak memahami sesuatu lebih dari yang ia katakan.

“Kenichi…” aku pelan bertanya, “berapa lama aku… koma?”

Ia duduk di kursi, memandangku dengan raut serius. “Tiga bulan. Ditemukan di apartemenmu di Saitama. Kata polisi, kau pingsan di depan komputer, dengan ratusan jendela video dan tulisan terbuka. Mereka pikir kau kelelahan kerja. Tapi hasil tes medis bilang lain. Dikatakan, kondisi otakmu menunjukkan aktivitas mimpi yang tidak normal. Seolah kau bermimpi terus tanpa henti.”

Aku tertegun. Jadi selama tiga minggu itu, aku hidup di dunia-dunia lain? Dunia yang terasa lebih nyata dari sekadar mimpi biasa?

Kenichi melanjutkan, “Dokter bilang itu semacam prolonged lucid dream, keadaan di mana kesadaranmu tidak sepenuhnya hilang meski tubuhmu tidak bergerak. Tapi kau tahu, aku tidak percaya itu hanya mimpi.”

Aku menatapnya tajam. “Kenapa?”

Lihat selengkapnya