Akhirnya dokter mengizinkan aku keluar dari rumah sakit. Di luar itu, aku sendiri bingung harus ke mana. Karena biasanya aku sering bertualang ke mana-mana. Sampai-sampai aku merasa tidak memiliki tempat yang disebut rumah. Karena itulah, aku memutuskan untuk menetap sementara di rumah Kenichi Iwada. Meskipun Kenichi bilang tempat tinggal aku, yaitu sebuah apartemen sederhana, berada di pinggir kota. Di Saitama, menurut cerita Kenichi tadi. Sementara rumah sakit ini hampir di jantung kota Tokyo.
Kenichi sendiri, untungnya, tidak keberatan. Ia malah senang ada yang berkunjung ke rumahnya yang sederhana. Omong-omong, rumah Kenichi itu benar-benar tipikal rumah orang Jepang. Pintu masuknya saja masih menggunakan pintu geser. Ia tinggal di rumah sendiri saja. Saat aku bilang kenapa ia tak mencari pasangan hidup, ia hanya berkata sambil minum kopi kaleng:
"Hahaha... pernikahan itu, ano, untuk menikah itu kan, Iman, itu tidak semudah kata-kata yang keluar dari mulut. Lagi pula, biaya menikah di Jepang itu tidak murah. Apalagi biaya hidup setelah menikah."
Kenichi pun mengakui bahwa ia sedang memiliki hubungan dengan perempuan keturunan Jepang yang kelahiran New York. Namanya Amanda Takahashi. Sudah dua tahun terakhir, ia dan Amanda menjalin hubungan.
Sekarang aku memang sudah berada di rumahnya. Amanda, kekasihnya, sedang di Amerika Serikat. Makanya, seperti aku bilang tadi, hanya ia sendiri di rumahnya yang sederhana ini.
Ia menawarkan aku kopi kaleng. Aku dan dia duduk di meja tradisional Jepang, yang di bawahnya ada penghangat.
"Eto..." kata Kenichi nyengir, minum minumannya. "Ceritakan kepada aku, pengalaman-pengalaman aneh kau itu. Aku penasaran saat kau bilang kau sering ber-isekai."
Aku menatap uap dari kopi kaleng di tanganku, mengalir pelan dan hilang di udara dingin rumah Kenichi. Aroma kopi instan berpadu dengan wangi kayu rumah tradisional Jepang yang tenang. Di luar, hujan rintik mulai turun. Tokyo sudah memasuki musim dingin. Udara dingin yang menusuk kulit tapi justru menenangkan hati.
Kenichi duduk bersila di seberang meja, senyum kecil mengembang di bibirnya. Ia tampak santai, tapi matanya tajam, penuh rasa ingin tahu.
“Jadi, Iman,” katanya sambil meneguk kopinya, “benarkah kau pernah berpindah-pindah dunia? Maksudku, seperti di anime Re:Zero atau Steins;Gate gitu?”
Aku tertawa kecil. “Kau pikir aku bercanda?”
“Bukan, bukan,” katanya cepat. “Aku hanya… mau tahu bagaimana rasanya. Kalau benar kau mengalami itu semua, pasti luar biasa. Menakutkan, tapi juga menarik.”
Aku menarik napas panjang, menatap jendela yang basah oleh hujan. “Rasanya… seperti mati berkali-kali, tapi tidak pernah benar-benar mati. Seolah setiap dunia yang kudatangi memberiku satu pelajaran, tapi juga satu luka baru.”
Kenichi memiringkan kepala, mendengarkan serius.
“Yang pertama kali,” lanjutku pelan, “aku terlempar ke Palestina. Ramallah. Aku bahkan tidak tahu bagaimana bisa tiba di sana. Aku hanya… bangun dan mendapati orang-orang berbicara bahasa Arab, tapi entah kenapa aku bisa mengerti. Aku bertemu seorang pemuda bernama Abdoul. Ia menolongku. Tapi perang memisahkan kami.”
Aku berhenti sebentar, meneguk kopi. Kenangan itu terasa begitu jauh, tapi juga begitu nyata.