Untungnya kali ini tidak tertarik. Aku masih tinggal di era yang sama dengan Kenichi Iwada. Yang kurasakan itu hanya angin biasa dan tidak berkaitan dengan kejadian-kejadian supranatural. Di Tokyo, menurut pengakuan Kenichi, memang begitu. Jika turun hujan, anginnya suka seperti angin ribut. Makanya, begitu mendapatkan laporan ramalan prakiraan cuaca, kebanyakan masyarakat Tokyo langsung waspada setiap diberitakan akan turun hujan deras.
Tak hanya itu saja kejutannya. Karena masih ada kejutan lainnya. Salah satunya adalah saat teman-teman Kenichi datang berkunjung ke rumahnya yang sederhana. Dari antara teman-temannya, ada satu yang aku sepertinya aku kenali. Orang itu berambut panjang dan memiliki lesung pipit yang sering membuatku terpesona. Dia adalah Sakura Watanabe.
Yah, perempuan itu mengaku bernama Sakura Watanabe. Ia pun merasa seperti pernah mengenalku. Teman-temannya yang lainnya, selain Kenichi sendiri, langsung tertawa terbahak-bahak. Mereka menyangka bahwa Sakura mungkin saja mabuk akibat sake. Namun, anehnya lagi, Sakura tak tersinggung. Menurutnya, ia sudah terbiasa dianggap mabuk atau sakit jiwa. Ia pun sedang tak dalam kondisi mengonsumsi obat-obatan mana pun.
Menurut Sakura lagi, memang faktanya, ia seperti pernah bertemu dengan aku. Ia jujur mengaku wajahku seperti familier di kepalanya. Pernah sempat ia memimpikan aku. Padahal baru kali ini aku dan Sakura bertemu di dunia nyata.
Aku terdiam cukup lama. Napas terasa sesak, seperti ada tangan tak terlihat yang perlahan menekan dadaku.
Sakura Watanabe. Nama itu menembus pikiranku seperti gema yang datang dari masa lain. Seperti datang dari Tokyo 2002, dan dari masa ketika aku hampir tertabrak truk. Saat itu, ada seorang gadis berambut panjang dengan seragam sepak bola Jepang menolongku.
Kini, dia berdiri di depan mataku lagi. Mungkin dua puluh tiga tahun berlalu di garis waktu dunia ini, tapi wajahnya nyaris tidak berubah. Hanya sedikit tanda usia di sudut matanya, tapi senyumnya masih sama. Senyum hangat yang pernah membuat hatiku bergetar di dunia yang terasa seperti mimpi itu.
“Sakura... Watanabe?” suaraku pelan, nyaris bergetar.
Ia mengangguk cepat. “Hai. Tapi... tunggu. Kamu juga, ya? Iman?”
Aku menatapnya tak percaya. “Kamu ingat namaku?”
Sakura menatap ke langit-langit, seperti berusaha mencari ingatan di antara kabut. “Aku tidak tahu kenapa. Tapi ya. Namamu muncul begitu saja di pikiranku. Aku bahkan ingat aku memanggilmu saat itu. Di jalan. Aku berteriak ‘Baka!’, karena kamu mau menyeberang tanpa lihat truk yang lewat.”
Aku tercekat. Itu kata-kata persis yang ia ucapkan dua puluh tiga tahun lalu di Tokyo 2002.
Seketika bulu kudukku berdiri.
Kenichi menatap kami bergantian, bingung. “Tunggu dulu. Kalian berdua… saling kenal?”
Kami berdua hanya bisa saling berpandangan lama.
Tatapan yang penuh tanya tapi juga penuh ketakutan. Karena kebenaran yang akan kami temukan mungkin terlalu gila untuk dipercaya siapa pun.
“Entahlah,” jawab Sakura akhirnya, pelan tapi pasti. “Tapi aku merasa... aku pernah mengenalnya. Aku tidak tahu kapan, di mana, atau bagaimana. Tapi aku ingat... angin. Ya, aku ingat angin.”
Aku bergumam lirih, “Kaze wa fuiteiru...”
Sakura menatapku tajam, pupil matanya membesar. “Itu dia! Itu kalimatnya!” katanya cepat, seperti baru saja menemukan potongan jigsaw yang hilang.
“Kalimat apa?” tanya Kenichi.
“Dia bilang begitu waktu aku menolongnya,” ujar Sakura. “Aku tidak paham maksudnya, tapi kalimat itu menempel di kepalaku bertahun-tahun. Dan sekarang... aku mendengarnya lagi dari orang yang sama.”