Untuk hari ini, Kenichi membawaku ke Distrik Akihabara. Aku tahu distrik ini. Distrik ini sudah lama dikenal sebagai tempat berkumpulnya para otaku--dan mungkin juga wibu. Sakura dan Tomomi ikut pula.
Saat berada di salah satu toko, aku dibuat kaget. Seorang pemuda yang sepertinya bertampang Hispanik, menghampiri aku. Dengan bahasa Jepang yang terbata-bata, pun dicampur dengan bahasa Spanyol dan Inggris, ia mengajak aku mengobrol. Ada Sakura di dekat aku. Ternyata Sakura bisa bahasa Inggris dan Spanyol. Itu kejutan pertamanya.
Kejutan keduanya adalah saat dia berkata, "Hei, aku sepertinya kenal kau. Apakah kau pernah ke El Salvador?"
Aku sontak mengernyitkan dahi. Sekonyong-konyong aku teringat dengan perjalanan aneh ke negara yang saat aku berkunjung, masih memerangi kartel.
"Pe-pedro?" tanyaku tergeragap. Aku takut salah. Bagaimanapun, di mataku, rata-rata orang Hispanik itu berwajah agak-agak identik.
Pemuda itu tertawa. Ia menepuk pundak aku "Hahaha... kau ini siapa, Amigo? Di satu waktu, kau ada di El Salvador. Sekarang ada di Akihabara ini."
Aku tertawa kaku. "Kau sendiri sedang apa di sini, Pedro?"
"Ceritanya panjang, Iman," kata Pedro yang menarik napas agak panjang. "Sejak kau menghilang secara aneh itu, banyak hal terjadi pada diriku. Beberapa hari kemudian, aku ditangkap polisi, karena menyelundupkan kokain. Padahal aku sendiri tak tahu ada kokain di rumah. Lalu, setelah aku dipenjara, adikku, Valeria dimasukkan ke dalam panti asuhan. Sampai, begitu aku keluar, Valeria dikabarkan meninggal dunia."
"Aku turut berdukacita, Pedro," Bisa kurasakan suasana hati Pedro saat menceritakannya.
"Tidak apa-apa," kata Pedro tersenyum. "itu sudah terjadi. Let bygones it bygones. Oh, ini pacarmu? Aku tak menyangka kau bisa juga berbahasa Jepang."
Kuperhatikan rona wajah Sakura memerah. Tergesa-gesa Sakura menggeleng. "Ie, tada tomodachi. Aku dan dia hanya berteman. Tsukiatte janai yo."
"Padahal kau dan Iman terlihat mesra," Pasti Pedro sedang menggoda aku dan Sakura.
Sekonyong-konyong Kenichi dan Tomomi keluar dari toko. Kenichi bertanya Pedro siapa. Aku menjelaskannya sebisa aku.
Pedro menatap Kenichi dan Tomomi dengan senyum setengah canggung, setengah kaget.
“Kau punya banyak teman, Iman,” kata Pedro dengan nada ramah namun suaranya bergetar samar.
Kenichi membalas dengan sopan, lalu menyodorkan tangannya. “Kenichi Iwada. Teman Iman. Dan ini Tomomi Sakurai.”
Tomomi menunduk sopan, khas orang Jepang. “Hajimemashite, Pedro-san.”
Pedro tersenyum lebar. “Hajimemashite. Wah, Jepang memang luar biasa. Aku baru dua bulan di sini, tapi rasanya seperti hidup di dunia lain.”