Isekai Everywhere

Nuel Lubis
Chapter #32

Los Redimidos

Pada hari ini aku dibawa Pedro ke apartemennya. Apartemen itu berada di Distrik Shibuya. Dibilang kecil, masih agak besar juga. Berukuran sedang, tepatnya. Di dalamnya ia tinggal bersama empat orang yang sama-sama berwajah Hispanik.

Pedro langsung memperkenalkan mereka kepadaku. "Ini Hector dari Kolombia. Lalu, ini Ignacio dari Venezuela. Terus, yang ini Sebastian dari Meksiko. Dan terakhir ini Ferdinand dari Peru."

Kesamaan mereka berempat dari Pedro adalah--yang menurur pengakuan mereka--mereka berasal dari negara-negara di mana ada kartel narkoba yang sungguh membuat masyarakat di negara masing-masing ketar-ketir. Mereka juga berasal dari kalangan menengah ke bawah. Sama seperti Pedro, mereka berempat juga pernah merasakan hidup di balik jeruji besi, lalu ditunjukkan semacam hidayah untuk bertobat lewat kunjungan misionaris, hingga kesempatan kedua yang Tuhan berikan, sehingga mereka bisa tiba di Tokyo ini.

Udara di apartemen Pedro terasa agak hangat, meski di luar Tokyo sedang diguyur hujan sore. Bau kopi hitam dan roti panggang bercampur dengan aroma khas minyak zaitun. Itu mungkin sisa masakan dari dapur kecil di ujung ruangan. Aku memperhatikan empat lelaki Hispanik yang kini menatapku dengan senyum ramah dan tatapan penasaran.

Pedro mempersilakan aku duduk di sofa yang warnanya sudah agak pudar.

“Santai saja, Amigo,” katanya sambil menepuk bahuku. “Teman-temanku ini bukan orang jahat lagi. Mereka semua sekarang hidup bersih. Kami sebut komunitas kami Los Redimidos—yang ditebus.”

Hector, pria bertubuh kekar dengan tato salib di lehernya, mengangguk. “Kau tahu, Iman, hidup di Kolombia tidak mudah. Semua orang ingin keluar dari bayang-bayang kartel. Tapi kalau kau miskin, satu-satunya cara cepat untuk bertahan adalah ikut mereka. Aku dulu kurir narkoba. Sekarang aku hanya mengantar pizza di Shibuya, dan itu cukup membuatku bahagia.”

Ignacio dari Venezuela tersenyum getir. “Aku dulu pengemudi untuk kelompok pengedar. Setiap malam aku melihat orang mati. Sekarang, aku bekerja di toko baju. Tidak kaya memang, tapi aku bisa hidup bebas. Itu sudah cukup.”

Sebastian, si orang Meksiko yang paling muda, berujar dengan nada ceria, “Aku dulu hanya anak jalanan di Guadalajara. Sekarang aku belajar bahasa Jepang. Karena aku ingin jadi penerjemah untuk orang-orang Latin yang baru datang ke sini. Supaya mereka tidak tersesat jalannya.”

Dan terakhir, Ferdinand, yang paling tenang di antara mereka, menatapku dengan mata teduh. “Aku dari Lima, Peru. Dulu aku anggota kelompok yang suka memeras orang. Tapi sejak mendengar kabar keselamatan dari seorang biarawati Jepang yang datang ke penjara, aku berubah. Aku tidak tahu kenapa, tapi sejak hari itu, aku merasa seperti diberi kesempatan hidup kedua. Dan sekarang, aku di sini.”

Aku hanya bisa terdiam. Kisah mereka seperti benang merah dengan kisahku sendiri. Itu tentang kehilangan, kesalahan, dan kesempatan kedua.

Pedro lalu menaruh secangkir kopi di depanku. “Kau tahu, Iman,” katanya lembut, “kami sering bertanya-tanya kenapa Tuhan membawa kami ke negeri ini. Negeri yang begitu jauh dari rumah kami. Tapi mungkin, jawaban itu datang hari ini. Itu mungkin karena kau datang.”

Aku menatapnya bingung. “Aku?”

“Iya,” ujar Pedro. “Kau adalah pengingat bahwa perjalanan spiritual tidak harus dimulai dari gereja, atau kitab suci, atau bahkan penjara. Tapi dari keinginan seseorang untuk terus berjalan, meski ia tidak tahu ke mana arahnya.”

Lihat selengkapnya