Padahal aku masih mengantuk, tapi aku sudah terbangun. Bangun-bangun aku masih berada di rumah Kenichi. Aku tidur di lantai atas sementara Kenichi di lantai bawah, dan tak jauh dari dapur. Aku sendiri, kamarku tak jauh dari kamar mandi. Di rumah Kenichi ini sendiri, ada dua kamar mandi. Satu di lantai bawah, satunya lagi di lantai atas.
Sejenak aku merenung. Aku sendiri juga bingung. Seingatku, mungkin segalanya bermula saat itu. Hari itu, maksudku. Aku sedang rebahan di atas tempat tidurku. Rebahan sambil menonton anime Jepang favoritku, Attack on Titan. Lalu, sekonyong-konyong turun hujan lumayan deras. Saking derasnya, ada petir. Mama memintaku untuk mematikan Wi-Fi, meski ia sendiri yang mematikan Wi-Fi, karena posisi Wi-Fi lebih dekat ke rumah. Namun aku membandel. Diam-diam, tanpa sepengetahuan--yang saat itu Mama sedang di dapur, kunyalakan Wi-Fi. Kucolok lagi kabelnya. Pada saat itulah, entah mengapa aku merasa seperti tersetrum, lalu terdengar petir, dan... blassst, aku mendarat di Ramallah. Dari Ramallah, berlanjut ke Kaliningrad, Tel Aviv, El Salvador, hingga sekarang, Tokyo.
Menurut pengakuan Kenichi, ia bilang aku bagian dari rombongan wisatawan dari Indonesia. Aku terpisah dari rombongan, diajak oleh anak-anak nakal dari Distrik Shinjuku, mabuk-mabukan, dan teler hingga aku harus menginap sampai nyaris tiga bulan di rumah sakit. Kenichi yang menyelamatkan aku saat aku teler dan tak berdaya.
Karena itulah, aku bingung sendiri, kenapa bisa ada dua versi? Maksudnya apa?
Langsung saja aku bangun dan menggulung futon dan memasukkannya ke dalam lemari. Setelah itu, tanpa mandi terlebih dahulu, kupikir ada baiknya aku langsung menghampiri Kenichi. Kurasa, aku tahu di mana Kenichi. Kenichi pasti berada di ruang kerjanya yang berada di lantai bawah. Segera aku ke sana.
Benar saja, Kenichi sedang ada di sana. Ia tengah sibuk membuat manga.
"Ohayou, Iman," sapa Kenichi tersenyum. "Ogenki desuka?"
"Genki, genki," sapaku balik. "Membuat manga lagi? Wah, jadi juga kau buat kisahku jadi manga? Kenapa namaku jadi Budi?"
Kenichi terkekeh-kekeh. "Gomen, gomen... soalnya aku ingin cerita ini lebih menjual. Agar terasa lebih komersial, aku menggunakan nama yang lebih familier. Nama Budi jauh lebih dikenal daripada Iman."
Sejujurnya aku tersinggung, tapi, yah, sudahlah. Aku sudah ikhlas menyerahkan ceritaku untuk dijadikan bahan komiknya Kenichi. Seharusnya aku bersyukur kepada Kenichi, karena setengah merahasiakan identitas aku.
"Tapi, Iman," ujar Kenichi tersenyum. "aku janji akan memberikan credit ke kamu di karyanya nanti. Doakan agar manga ini laris, dan tiba di negaramu dengan penuh kejayaan."
"Otsukaresama, Kenichi," kataku tersenyum balik. "Ganbatte kudasai, ne. Omong-omong, aku lapar, Kenichi. Tadi sempat ke dapur, isi kulkasmu nyaris kosong."
"Oh, sumimasen, sepertinya aku lupa membeli bahan-bahan makanan. Apa kau mau beli sendiri di konbini? Ini uangnya, aku berikan kepadamu. Sementara aku tak bisa menemanimu ke sana. Aku masih sibuk membuat manga ini."