Isekai Everywhere

Nuel Lubis
Chapter #35

Isekai ke Seoul

Seperti déjà vu. Tanganku ditarik oleh seseorang. Ada sebuah mobil melaju cukup kencang. Hampir saja aku tertabrak. Ini mengingatkan aku pada saat aku bertemu dengan Sakura Watanabe.

Sayangnya yang menarik tanganku adalah seorang laki-laki. Ia memperkenalkan dirinya sebagai, "Annyeong, namaku Song Jeok-kim. Kau sepertinya dari Indonesia. Apa jauh-jauh ke Seoul untuk menonton Piala Dunia? Nanti, akan ada pertandingan seru. Antara Perancis melawan Senegal. Sayangnya, maestro mereka, Zinedine Zidane, terpaksa absen karena gosipnya cedera."

Aku masih terengah-engah ketika laki-laki bernama Song Jeok-kim itu melepaskan genggamannya. Jalanan di sekitarku ramai sekali, penuh orang-orang dengan bendera, seragam, dan atribut berwarna merah, biru, putih, dan hijau. Aku menatap ke sekeliling, mencoba memahami di mana aku berada. Tulisan-tulisan di papan toko semuanya dalam huruf Hangul. Bendera Korea Selatan berkibar di setiap sudut jalan.

"Seoul..." gumamku lirih. "Aku benar-benar di Seoul, tahun 2002..."

Jeok-kim terkekeh. “Kau sepertinya shock, kawan. Ya, ini Seoul, dan suasananya memang gila sekarang. Piala Dunia pertama di Asia, dan pertama juga untuk Korea Selatan.”

Aku menatap sekeliling lagi. Ada layar besar menyiarkan cuplikan pertandingan pembuka. Orang-orang bersorak riang, beberapa membawa drum, peluit, dan spanduk bertuliskan “대한민국 Fighting!”

Aku mengangguk pelan, masih mencoba menenangkan diri. “Terima kasih sudah menyelamatkanku. Kalau tidak, mungkin aku sudah...”

“Sudah jadi headline berita malam ini,” potong Jeok-kim sambil tertawa kecil. “Tapi serius, kau baik-baik saja? Aku lihat dari tadi kau seperti orang kebingungan. Kau turis?”

Aku mengangguk. “Dari Indonesia.”

“Ah, Indonesia!” katanya bersemangat. “Aku pernah dengar dari kawan di universitas. Katanya, makanannya pedas luar biasa. Aku belum pernah ke sana, tapi aku ingin mencoba ke sana suatu hari.”

Aku tersenyum kecil. “Kau bisa ke sana nanti... kalau waktu memungkinkan.”

Tiba-tiba aku tersadar bahwa ucapan itu seperti sindiran pada diriku sendiri. Aku, yang bahkan tidak tahu kapan dan di mana aku akan berada esok hari. Dunia terus menelanku, mengirimku berpindah-pindah, seolah aku adalah narasi tanpa penutup.

Kami berjalan berdua menyusuri trotoar besar menuju area publik di dekat Seoul City Hall. Suasana begitu meriah. Bendera merah-putih Korea menghiasi gedung-gedung tinggi. Para penjual makanan sibuk menawarkan tteokbokki, odeng, dan hotteok.

“Jadi, Iman,” kata Jeok-kim tiba-tiba, “kau sendirian di sini?”

Aku mengangguk. “Sepertinya begitu.”

Ia menatapku penasaran. “Sepertinya begitu? Haha... jawabannya aneh sekali.”

Aku terkekeh. “Aku... agak sulit menjelaskannya.”

Lihat selengkapnya