Aku langsung memegangi kepalaku. Sakit sekali. Yang aku ingat masih berada di jalanan kota London di akhir era 1890-an. Aku sedang menunggu Robert yang berjanji untuk menghampiriku di salah satu restoran kecil. Tiba-tiba segerombolan orang datang mengepung aku. Salah seorang dari mereka...
... astaga, aku ingat, dia memukul aku. Sakit sekali. Saking sakitnya, aku sampai pingsan. Kukira, aku akan berada di rumah sakit London. Nyatanya, aku berpindah waktu lagi.
Kali ini aku berada di New York. Atau tepatnya, pinggiran kota New York. Tepatnya...
"Ini," Laki-laki ini menawarkan aku minuman kaleng. Coca-Cola. Tadi ia memperkenalkan namanya sebagai Joseph Williamson. "bisa kau jelaskan kau dari mana? Dan, kenapa bisa tiba-tiba muncul semalam di parade Halloween. Banyak teman-teman aku ketakutan, kau buat."
Joseph Williamson memang seorang pria Afro-Amerika yang baik.
Aku langsung menenggak minumanku dulu sebelum akhirnya berkata, "Terima kasih. Ceritanya panjang, Rob. Kau pasti tak percaya. Aku pun tak percaya. Tadinya aku masih di London era 1800-an. Damn, sekarang aku sudah di London tahun 2010. Pada saat Halloween pula."
"Wow!" Bukannya memandangku sinting, ia malah terkagum-kagum. "Serius? Jujur, Iman, aku sama sekali tak menganggapmu gila. Caranya kau menuturkan segala sesuatunya itu, kau terlihat jujur. Sama sekali tidak dibuat-buat. Memang agak melantur, tapi, kau tahu, sejak kecil, aku selalu percaya, di balik hal-hal melantur, sering kita temukan kebenaran."
Giliran aku yang dibuat terkesima oleh Robert ini. Kelihatannya ia lebih muda dari aku, tapi ia lebih dewasa dari aku. Aku menatap wajah Joseph Williamson lebih lama kali ini. Lelaki itu kira-kira berusia akhir dua puluhan. Kulitnya gelap berkilau di bawah sinar lampu jalanan Bronx yang redup. Rambutnya dikepang rapi ke belakang. Pun, matanya berkilau seperti seseorang yang menyimpan kisah panjang dalam sebuah diam. Di balik tawa santainya, ada sesuatu yang tenang, mendalam, dan penuh pemahaman.
Kami duduk di bangku kayu dekat taman komunitas, sementara dari kejauhan terdengar sirine mobil polisi dan tawa anak muda yang masih merayakan Halloween. Sisa-sisa kertas permen dan topeng plastik berserakan di jalan. Udara malam New York terasa lembab, dan angin yang lewat membawa aroma asap dan gula bakar.
"Don't worry, aku percaya kamu,” ujar Rob pelan, membuka percakapan lagi. “Aku percaya kamu bisa berpindah dunia, waktu, atau apa pun itu. Dunia ini terhadap aneh. Begitulah aku mempercayainya hingga detik ini. Aku bahkan pernah lihat hal-hal yang lebih gila dari film atau drama televisi.”
Aku terdiam sejenak, lalu menatap kaleng Coca-Cola di tanganku. Embun dinginnya menetes di jari, memberikan sensasi nyata, dan menurut aku, itulah yang paling menakutkan. Semua ini terasa terlalu nyata untuk dianggap mimpi.
“Rob,” kataku, “kau tahu rasanya bangun di dunia yang bahkan tak mengenalmu? Dunia di mana tak ada satu pun orang yang tahu siapa dirimu?”
Ia tersenyum tipis. “Aku tahu. Aku seorang kulit hitam di Amerika. Tiap kali aku melangkah ke daerah orang kaya, dunia seakan-akan juga tak mengenalku. Tapi aku tak bisa kabur, pastinya. Apalagi aku hanya punya satu dunia.”
Aku terdiam, terpaku pada kalimatnya. Itu benar. Aku bisa berpindah waktu, tempat, bahkan dunia. Sayangnya aku belum pernah benar-benar memiliki satu dunia untuk kusebut rumah.
Rob melanjutkan, “Dulu aku kerja di perusahaan konstruksi. Tapi habis perusahaan itu bangkrut, aku kehilangan segalanya. Sekarang aku kerja serabutan. Tapi aku tidak pernah terpikirkan untuk menyerah apalagi bunuh diri. Aku pikir, kalau dunia bisa terus berputar, aku juga bisa terus berjalan selagi aku masih punya kaki.”
Aku menatap langit kota New York, yang gelap, tapi penuh cahaya buatan. Selanjutnya aku menatap Rob dan berkata, “Kau tahu, Rob, aku sudah berpindah ke banyak tempat. Palestina, Rusia, Jepang, Israel, El Salvador, bahkan Korea. Dan setiap kali aku sampai di satu tempat baru, aku selalu berpikir mungkin di sinilah aku akan berhenti. Tapi ternyata tidak.”
“Lalu kenapa kau berkata seperti itu?” tanyanya. “Kenapa kau masih berharap berhenti juga?”