Isekai Everywhere

Nuel Lubis
Chapter #37

Berkelana hingga Tahun 330 Masehi

Di sekeliling aku, banyak yang berbahasa Latin. Mereka mengenakan pakaian ala orang-orang Romawi. Benar saja, saat seseorang aku tanya-tanya, ia mengaku ini adalah Konstantinopel. Orang itu seorang pedagang yang mengaku dari Athena. Ke Konstantinopel untuk berdagang. Namanya adalah Alexander.

"Aku diberikan nama seperti itu," kata Alexander memukul-mukul dadanya. "karena almarhum ayahku mengidolakan pemimpin bernama Alexander Agung."

Aku hanya terkekeh dan berjalan mengikutinya menuju tempat tinggalnya yang cukup kecil. Hanya cukup untuk 2-3 orang.

"Pakaianmu aneh juga, Iman," kata Alexander terkekeh. "Kau seperti dari galaksi lain. Omong-omong, aku masih belum percaya bumi itu datar."

Ingin aku berkata bahwa kelak beberapa ratus tahun kemudian, Konstantinopel akan jatuh. Daerah ini akan dikuasai oleh pasukan Turki Ottoman. Lalu, banyak penjelajah Eropa mencari jalur baru, selain dari Konstantinopel ini. Di situlah, baru terbukti bumi itu sebetulnya bundar. Bumi itu sebulat bola yang anak-anak itu coba mainkan.

Aku sampai di kediaman Alexander. Ia lalu menyuguhkan aku sejenis minuman herbal khas daerah ini. Aku kurang tahu namanya apa. Namun, rasanya agak pahit bercampur pedas.

"Jadi, kau bilang tadi," Alexander mengernyitkan dahi. "kau berasal dari daerah timur jauh? Sebuah kepulauan yang kau bilang di sana, ada kerajaan cukup makmur bernama Tarumanagara dan Kutai Martapura. Kira-kira, jika diadu dengan Romawi, mana yang lebih tangguh?"

Aku tertawa terbahak-bahak. Itu pertanyaan sulit dan jawabannya sudah pasti. Pasti Romawi, jika mengingat pasukan Romawi itu cukup disiplin dan persenjataannya cukup komplet daripada persenjataan orang-orang di Jawa dan Kalimantan sana.

Lalu aku menatap wajah Alexander, pedagang dari Athena yang kini tampak begitu antusias dengan obrolan kami. Ia duduk bersila di kursi kayu rendah, sementara aku berada di seberangnya. Rumahnya kecil, berdinding batu kapur dan beratap jerami, tapi di dalamnya hangat karena tungku api yang terus menyala di sudut ruangan. Bau kayu terbakar bercampur dengan aroma herbal dari minuman yang ia suguhkan.

"Aku penasaran sekali, Iman," ujar Alexander dengan logat Yunani yang kental, matanya berkilat penuh rasa ingin tahu. "Apakah di negerimu itu... orang-orangnya berkulit agak gelap seperti dirimu semua?"

Aku tersenyum kecil. "Sebagian besar, ya. Tapi, tergantung daerahnya. Di tempat aku, matahari sangat terik. Kami hidup di negeri kepulauan yang dikelilingi lautan luas."

"Menarik," katanya sambil memutar cangkir tanah liat di tangannya. "Di sini, laut juga bagian dari kehidupan kami. Tapi aku selalu percaya, laut itu membawa lebih banyak misteri daripada berkat. Ah, itu seperti banyak kapal hilang di tengah badai. Banyak pula pedagang yang tak pernah kembali."

Sekonyong-konyong Alexander menatapku dalam-dalam. "Kau yakin datang dari masa depan, bukan sekadar khayalan akibat minuman keras yang berlebihan?"

Aku tertawa kecil. "Aku pun kadang berpikir ini khayalan. Tapi setiap kali aku berpindah, aku meninggalkan sesuatu yang nyata. Bisa dibilang itu seperti jejak--atau bisa juga disebut kisah."

Alexander menyeringai. “Kisah? Orang-orang di sini menyukai kisah. Di pasar, di dermaga... ah, di mana-mana, semua suka bercerita. Mungkin kalau kau benar-benar dari masa depan, ceritakan padaku, apa yang akan terjadi pada kota ini? Konstantinopel ini... apakah ia tetap megah hingga ribuan tahun dari sekarang?”

Pertanyaan itu membuatku terdiam. Aku menatap api di tungku yang menari perlahan. Bagaimana menjawabnya? Haruskah aku jujur bahwa kota megah ini kelak akan runtuh, ditaklukkan oleh bangsa Turki? Bahwa Romawi Timur, yang kini begitu sombong dengan peradabannya, akan sirna dari peta? Bahwa lambang elang berkepala dua itu akan digantikan oleh bulan sabit?

Akhirnya, aku memilih menghela napas panjang dan menjawab hati-hati, "Setiap kerajaan memiliki masanya, Alexander. Seperti manusia, mereka semua akan tumbuh, berjaya, lalu menuju kejatuhannya. Tapi... dari reruntuhan itu, lahir kebangkitan baru.”

Lihat selengkapnya