"Sini, sini..."
Tanganku langsung ditarik oleh seorang pemuda dengan pakaian yang mirip dengan apa yang pernah aku baca di komik-komik Alkitab tentang pembuangan bangsa Yahudi ke Babilonia.
Nama pemuda itu ialah Omer. Berusia 20 tahun. Ia seorang dari suku Benyamin. Ibunya bekerja sebagai pedagang buah. Ayahnya merupakan nelayan yang lebih sering di Danau Galilea daripada di rumah mereka yang tak jauh dari Yerusalem.
Omer bilang situasi di Yerusalem sedang memanas. Para Makabe sedang gencar melawan penindasan orang-orang dari Makedonia yang dibawa oleh Alexander Agung. Tampaknya tak hanya para Makabe, nyaris seluruh masyarakat Yahudi ingin mereka benar-benar merdeka. Kembali berjaya seperti pada masa kejayaan Raja Salomo.
"Ayahku bilang," kata Omer yang menawarkan aku roti beragi yang menurut aku enak sekali. "Ini cerita turun temurun, Iman. Apalagi kakek buyutku pernah tinggal sebentar di Persia. Ayah sering bercerita pula, bagaimana kami pernah berada di puncak kejayaan saat Salomo memerintah. Aku rindu muncul lagi Kerajaan Israel seperti dulu lagi. Bagaimana Israel disegani di antara banyak kerajaan yang ada di muka bumi ini."
Aku menatap wajah Omer yang bersemangat ketika ia menyebut nama Raja Salomo. Matanya memancarkan keyakinan yang dalam, seolah-olah bayangan masa kejayaan itu masih hidup di dalam hatinya.
Kemudian terdengar suara riuh di luar rumah, meski samar-samar. Tampaknya orang-orang Yahudi tengah berdoa, berdiskusi, atau mungkin merencanakan perlawanan. Di udara yang panas dan berdebu itu, semangat kebebasan menggantung seperti bara yang belum padam.
“Jadi... kalian sedang melawan orang Makedonia?” tanyaku perlahan, mencoba menyatukan potongan-potongan sejarah yang hanya kukenal lewat buku dan film dokumenter.
Omer mengangguk mantap. “Benar, Iman. Mereka memaksa kami meninggalkan adat dan hukum nenek moyang kami. Kami bahkan dilarang beribadah di Bait Allah. Banyak orang Yahudi, yang dibunuh hanya karena menolak menyembah dewa-dewi Yunani mereka. Padahal kami selalu percaya, hanya ada satu yang boleh disembah. Dia adalah Yahweh, Adonai, El Elohim.”
Sekonyong-konyong Omer menatap langit-langit ruangan dengan tatapan getir. “Tapi keluarga Makabe tak tinggal diam. Mereka menolak tunduk. Dan kini, seluruh Yerusalem mulai bangkit, kurasa, melawan penindasan orang-orang Yunani itu.”
Aku hanya bisa diam. Dalam hati, aku bergidik.
'Ini berarti aku berada di masa pemberontakan Makabe. Mungkin sekitar abad ke-2 sebelum Masehi. Masa ketika bangsa Yahudi berjuang untuk mempertahankan imannya.'
“Iman,” Omer menepuk bahuku. “Kau terlihat seperti orang asing. Tapi kau mengerti bahasa kami. Dari mana sebenarnya kau datang?”
Aku menarik napas dalam-dalam. “Aku... berasal dari negeri yang jauh sekali dari sini. Mungkin, terlalu jauh untuk dijelaskan. Bahkan aku ragu di sana itu, sedang berdiri kerajaan apa. Setahuku, di sana, memang,di tahun-tahun ini, banyak kerajaan berdiri.”
Kupikir tak ada gunanya menjelaskan bahwa aku sebenarnya berasal dari abad ke-21. Mereka mungkin akan menganggapku gila, atau lebih parahnya, aku dituduh sebagai mata-mata Makedonia.
Omer hanya tersenyum kecil. “Kau orang baik. Aku bisa melihatnya dari matamu. Kadang aku merasa kau itu utusan dari Yahwe. Dan kau tahu, orang baik selalu diterima di rumah orang Benyamin.”
Kalimat itu membuat hatiku hangat. Meski aku geli juga dianggap sebagai urusan Yahweh atau Tuhan. Sekonyong-konyong aku ingat, mungkin saja jika Tuhan membiarkan aku untuk melihat seorang pria tukang kayu dan perawan Yahudi melahirkan anak di sebuah kandang domba.
Omer melanjutkan, dengan nada sedikit lebih pelan,“Tapi berhati-hatilah. Pasukan Antiokhus, kurasa, masih berpatroli. Mereka menangkap siapa saja yang dicurigai ikut memberontak.”
Aku mengangguk. “Kalau begitu, apa rencanamu?”