"Sida-sida sudah datang katanya," teriak salah seorang yang terlihat di mataku seperti seorang pedagang buah. Apalagi memang ada dagangan berupa buah-buahan di dekat pria berkulit hitam ini.
Seorang pemuda yang sepertinya berusia sama dengan aku, berjabat tangan dengan aku. Ia memperkenalkan dirinya sebagai Na'Od, seorang Ethiopia. Atau menurut kata-kata Na'Od tadi, orang-orang di sini sering menyebutnya sebagai Kush. Sekonyong-konyong aku ingat daerah Ethiopia ini juga dikenal sebagai Abyssinia, nama yang disematkan oleh orang-orang Arab untuk wilayah ini.
Na'Od tertawa dan berkata, "Kau benar-benar makhluk aneh. Mulai dari Iman, yang menurut aku, nama yang aneh. Pakaianmu pun aneh. Belum lagi kulitmu, yang tidak gelap seperti aku dan lainnya; atau tidak terang seperti masyarakat di ujung Persia sana."
Aku hanya tertawa terbahak-bahak. Bingung aku menjelaskan kepada Na'Od. Apakah ia mau percaya tentang seseorang yang terus menerus berpindah-pindah secara ajaib? Yang dari satu tempat ke waktu lainnya? Yang dari satu tempat ke tempat lainnya?
Untuk hari ini, aku berpindah ke Ethiopia saat kerajaannya masih berdiri. Yang masih bernama Kerajaan Kush. Menurut Na'Od, orang-orang sini menyebutnya Kush. Sebagian wilayah Kush dalam penaklukan Imperium Romawi. Di utara Kush, ada wilayah Mesir.
Tentang sida-sida tadi, menurut cerita Na'Od dan lainnya, sida-sida itu diceritakan baru saja seorang yang luar biasa. Nama seorang luar biasa itu adalah Philippos, seseorang dari provinsi Romawi bernama Yudea.
Aku tadi juga berpindah ke kawasan Kush ini saat Na'Od sedang memancing. Tubuhku diturunkan oleh angin ribut kecil. Herannya aku, Na'Od sepertinya tidak kenapa-kenapa. Ia tetap saja memancing, meski cuacanya sedang tidak bagus.
Angin padang gurun meniup lembut dari arah utara, membawa butiran pasir halus yang menari di udara. Langit Ethiopia tampak merah keemasan di bawah matahari yang mulai condong. Aku berdiri di samping Na’Od, seorang pemuda berkulit gelap dengan rambut ikal pendek dan tubuh yang kekar, yang kini sibuk menarik kail dari sungai kecil yang airnya keruh kecokelatan. Di sekeliling kami, rerumputan liar tumbuh di tepi sungai Nil Biru yang mengalir jauh hingga ke utara, menuju Mesir dan Laut Tengah.
Aku masih tercengang memandangi pemandangan ini. Bukan hanya karena keindahannya, tapi karena kenyataan bahwa aku kini benar-benar berada di tanah yang selama ini hanya kutahu dari buku-buku sejarah kuno. Ethiopia, atau tepatnya Kerajaan Kush, merupakan sebuah kerajaan tua yang menjadi jembatan antara peradaban Afrika dan dunia Timur Tengah.
“Na’Od,” kataku pelan, “kau bilang tadi... ada sida-sida dari Yudea? Dari negeri tempat orang-orang Yahudi?”
Na’Od mengangguk, matanya tajam memandangi sungai. “Ya, betul. Orang itu datang dari utara. Ia menunggang kereta besar yang ditarik dua kuda putih. Katanya, dia itu merupakan penasihat ratu kami, Ratu Kandake Amanirenas. Ia seorang sida-sida yang cerdas dan berpendidikan. Dan, konon ia baru saja kembali dari Yerusalem setelah berziarah ke Bait Allah.”
Aku tertegun mendengarnya.
Philippos. Sida-sida dari Yudea. Nama itu terasa akrab di kepalaku, seperti gema dari sesuatu yang pernah kubaca. Rasa-rasanya aku pernah mengingat nama itu. Itu seperti kisah di Alkitab. Dari Kisah Para Rasul bab 8. Tentang seorang sida-sida dari Etiopia yang sedang membaca Kitab Yesaya di keretanya, lalu bertemu dengan Filipus, salah satu murid Yesus. Filipus menjelaskan tentang kabar baik, dan sida-sida itu akhirnya dibaptis di tepi jalan.
Jantungku berdetak kencang. Mungkinkah aku sedang menyaksikan momen itu?
Na’Od menatapku heran. “Kenapa wajahmu berubah begitu?”
Aku menelan ludah. “Tidak apa-apa. Aku hanya... seperti merasa pernah mendengar kisah tentang sida-sida itu.”
Na’Od tertawa kecil. “Lucu sekali kau, Iman. Kau bicara seperti nabi. Kau tahu sesuatu yang bahkan belum terjadi.”
Aku ikut tertawa hambar. “Mungkin aku memang datang dari tempat yang sangat jauh.”
*****
Beberapa jam kemudian, kami berdua berjalan menyusuri jalan tanah yang mengarah ke selatan. Dari kejauhan, terlihat iring-iringan kereta berhenti di bawah pohon akasia besar. Kuda-kuda putihnya tampak lelah. Seorang pria berkulit gelap mengenakan jubah linen putih turun dari kereta, sementara seorang lain yang lebih muda berdiri di sampingnya, membawa kendi air.
“Itu dia,” bisik Na’Od. “Itu sida-sida yang kumaksud.”